Kata pengantar
Puji syukur kita
serahkan kepada orang yang tidak pernah tidur untuk menjaga kelestarian
alam,atas rahmatnyalah kita bisa beraktifitas sehingga makalah ini bias
terselesaikan dengan sesederhana mungkin. Sholawat dan salam kita kirimkan buat
junjungan alam karena berkat perjuangan
beliau kita bisa menikmati hidup.
Ucapan
terima kasih tek terhingga kami ucapkan pada ibu dosen pembimbing dalam makalah
ini yang telah banyak memberikan masukan tentang penulisan makalah ini, tak
lupa pula kami ucapkan terima kasih pada teman-teman yang memberikan saran dan
dorongan pada kami sehingga makalah yang berjudul
TEORI KRITIS “EMANSIPATORIS “HABERMAS
Kami sebagai
penulis mengharapkan kritikan dan saran demi kebagusan makalah kami ini,dan
kami maaf jika ada kesalahan kata yang salah.
Pekanbaru 30 April 2013
ISMAIL
BAB I
PENDAHULUAN
Jurgen Habermas tidak diragukan
lagi merupakan filsuf Jerman terpenting saat ini. Tulisan-tulisannya sejak
lebih 20 tahun dibicarakan di Fakultas-Fakultas filsafat Eropa kontinental.
Mempelajari Habermas bukan hal yang mudah. Gagasan-gagasannya biasanya tidak
diutarakan secara langsung, malainkan selagi membahas pikiran orang lain.
Dengan leluasa dia berdialog dengan Thomas Aquinas, Kant, Fichte, Hegel, Marx,
Comte dengan Freud dan Dilthe, dengan Pierce, Kohiberg dan banyak tokoh lain.
Itulah yang membuat bacaan Habermas begitu berat. Sering kita merasa
seakan-akan langsung dilemparkan kedalam sebuah pembiaran yang sudah sedang
berjala, dimana semua istilah khusus diandaikan sudah diketahui. Habermas tidak
mengambil pusing menjelaskan kepada pembaca metode pendekatannya. Bahasanya
sulit dan sangat teknis…….(Franz Magnis Suseno).
Memang benar, rasanya sangat kikuk mengatakan
tidak sulit untuk memahami pemikiran Habermas. Sesuatu yang dibicarakan Habermas
sama sekali tidak pernah terbesit di pikiran kita, bahkan kesadaran kitapun
tidak pernah sampai, apa yang dibicarakan masih berada di luar kesadaran kita,
atau sekurang-kurangnya, kalau ada, baru menjadi kesadaran segelintir orang
yang punya waktu untuk merenung.
Masalah yang mengemuka dalam filsafat sosial dan
politik terkait dengan hakikat suatu kajian filsafat tercermin dalam
pertanyaan-pertanyaan: Apa peran yang semestinya dilakukan oleh ‘rasio’ dalam
refleksi-refleksi abstrak tentang masyarakat? Apakah suatu teoritisasi atas
dasar suatu perspektif yang tidak memihak dan netral tentang masyarakat itu
mungkin? Ataukah teoritisasi yang ada ini hanyalah sebuah permukaan dari suatu
pemikiran yang sesungguhnya bias dan ditujukan hanya untuk kepuasan diri
sendiri?
Tanpa mengabaikan semua minat yang terus ada dan
bahkan semakin meningkat, teori kritis telah menarik perhatian dunia
internasional. Sebuah kesadaran kritis mulai muncul terkait dengan pencapaian
teoretisnya dewasa ini. Setiap gelombang minat baru, dengan seluruh upaya
risetnya, menghilangkan dari proyek lama satu-dua elemen awalnya yang terkenal.
Sehingga secara bertahap membentuk teori kritis menjadi sebuah pendekatan
teoretis yang realistis dan terbuka untuk diverifikasi. Oleh karena itulah, upaya-upaya
untuk merekonstruksi secara sistematis teori kritis selalu beranjak dari
temuan-temuan kritis bahwa teori ini tidak membumi[1].
Teori kritis yang akan dibahas adalah sebutan untuk orientasi teoritis tertentu yang bersumber dari Kant, Hegel dan Marx, kemudian disistematisasi oleh Horkheimer dan sejawatnya di Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, dan dikembangkan oleh Habermas. Secara umum istilah ini merujuk pada elemen kritik dalam filsafat Jerman yang dimulai dengan pembacaan kritis Hegel terhadap Kant. Secara lebih khusus, teori kritis terkait dengan orientasi tertentu terhadap pengetahuan. Kant dengan epistemologinya berusaha menunjukkan bahwa rasio dapat menjadi kritis terhadap kemampuannya sendiri. Dengan kata lain, kritik dalam arti Kantian berarti kegiatan menguji sahih tidaknya klaim pengetahuan tanpa prasangka, dan kegiatan ini dilakukan oleh rasio filsafat yang ”dilahirkan” di Frankfurt. Yaitu teori kritis yang merupakan program metodologis jangka panjang yang selalu diperbaiki dan dilengkapi dengan wawasan baru, dan pengembangan teori ini bertujuan untuk mengaitkan rasio dan kehendak, riset dan nilai, pengetahuan dan kehidupan, teori danpraxis. Dengan singkat bisa dikatakan, bahwa teori kritik yang disusun dengan maksud praktis.[2]
Teori kritis yang akan dibahas adalah sebutan untuk orientasi teoritis tertentu yang bersumber dari Kant, Hegel dan Marx, kemudian disistematisasi oleh Horkheimer dan sejawatnya di Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, dan dikembangkan oleh Habermas. Secara umum istilah ini merujuk pada elemen kritik dalam filsafat Jerman yang dimulai dengan pembacaan kritis Hegel terhadap Kant. Secara lebih khusus, teori kritis terkait dengan orientasi tertentu terhadap pengetahuan. Kant dengan epistemologinya berusaha menunjukkan bahwa rasio dapat menjadi kritis terhadap kemampuannya sendiri. Dengan kata lain, kritik dalam arti Kantian berarti kegiatan menguji sahih tidaknya klaim pengetahuan tanpa prasangka, dan kegiatan ini dilakukan oleh rasio filsafat yang ”dilahirkan” di Frankfurt. Yaitu teori kritis yang merupakan program metodologis jangka panjang yang selalu diperbaiki dan dilengkapi dengan wawasan baru, dan pengembangan teori ini bertujuan untuk mengaitkan rasio dan kehendak, riset dan nilai, pengetahuan dan kehidupan, teori danpraxis. Dengan singkat bisa dikatakan, bahwa teori kritik yang disusun dengan maksud praktis.[2]
BAB II
A.Latar
Belakang Jurgem Habermas
Jurgen Habermas adalah filsuf
kontemporer yang tidak diragukan lagi merupakan filsuf Jerman terpenting dewasa
ini[3].
Ia dilahirkan pada 18
Juni 1929 di daerah Dusseldorf Jerman. Habermas merupakan anak Ketua Kamar
Dagang propinsi Rheinland – Westfalen di Jerman Barat. Ia dibesarkan di
Gummersbach, sebuah kota menengah di Jerman dengan dinamika lingkungan
Borjuis-Protestan. Pada tahun 1953, ketika Habermas sedang sibuk menulis
disertasi doktor, ia menerbitkan artikel yang berjudul “Berpikir Bersama
Heidegger Melawan Heidegger”. Di lingkungan filsafat akademik Jerman pasca
kehancuran akibat Perang Dunia II, Heidegger bagaikan tiang penunjang yang
diandalkan, jembatan antara dunia yang berantakan sehabis Hitler dan tradisi
luhur filsafat Jerman. Dengan sangat kritis, Habermas berujar “Ingatlah,
bagaimana dulu Heidegger memuji Nazi” Bahkan filsafat Heideggerpun dicela
Habermas, “bisa dipakai untuk apa-apa saja”.
Habermas berhasil menyelesaikan disertasinya pada 1954 di Universitas Bonn Jerman, dengan menulis “Das Absolute und die Geschichte. Von der Zwiespältigkeit in Schellings Denken (The absolute and history: on the contradiction in Schelling’s thought)”.
Habermas berhasil menyelesaikan disertasinya pada 1954 di Universitas Bonn Jerman, dengan menulis “Das Absolute und die Geschichte. Von der Zwiespältigkeit in Schellings Denken (The absolute and history: on the contradiction in Schelling’s thought)”.
Habermas bertolak dari Teori Kritis Masyarakat Max Horkheimer dan Theodor
W. Adorno. Ia hendak
mengembangkan gagasan teori masyarakat yang dicetuskan dengan maksud yang
belaka. Sedangkan Kritik dalam artiHegelian adalahrefleksi atauRefleksi-diri
atas rintangan, tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan-diri
dari rasio dalam sejarah. Dengan kata lain, kritik berartirefleksi atas proses
menjadi sadar atau negasi dan dialektika, karena bagi Hegel kesadaran timbul
melalui rintangan.
B. Teori
kritis(Critical Theory)
Teori kritik hendak memberikan
sesuatu yang lain yang bukan berupa pencerminan tidak memihak mengenai
masyarakat dewasa ini. Dengan
menimbulkan kesadaran bahwa suatu filsafat masyarakat tanpa penyelidikan
empiric hanya akan menghasilkan rangka pemikiran yang hampa, yang tidak
memberikan keinsyafan apapun mengenai struktur masyarakat yang ada. Sebaliknya,
penyelidikan empiric akan merupakan kegiatan yang sia-sia, bila tidak disertai
kerangka kefilsafatan yang mewadahi serta memberi makna kepada penyelidikan
tersebut.[4]
Teori kritis memungkinkan
kita membaca produksi budaya dan komunikasi dalam perspektif yang luas dan
beragam. Ia bertujuan untuk melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman
yang kita alami dan cara kita mendefinisikan diri sendiri, budaya kita, dan
dunia. Saat ini teori kritis menjadi salah satu alat epistemologis yang
dibutuhkan dalam studi humaniora. Hal ini didorong oleh kesadaran bahwa makna
bukanlah sesuatu yang alamiah dan langsung. Bahasa bukanlah media transparan
yang dapat menyampaikan ide-ide tanpa distorsi, sebaliknya ia adalah
seperangkat kesepakatan yang berpengaruh dan menentukan jenis-jenis ide dan
pengalaman manusia.
Dengan berusaha
memahami proses dimana teks, objek, dan manusia diasosiasikan dengan
makna-makna tertentu, teori kritis mempertanyakan legitimasi anggapan umum
tentang pengalaman, pengetahuan, dan kebenaran. Dalam interaksi sehari-hari
dengan orang lain dan alam, dalam kepala seseorang selalu menyimpan seperangkat
kepercayaan dan asumsi yang terbentuk dari pengalaman—dalam arti luas—dan berpengaruh
pada cara pandang seseorang, yang sering tidak tampak. Teori kritis berusaha
mengungkap dan memertanyakan asumsi dan praduga itu. Dalam usahanya, teori
kritis menggunakan ide-ide dari bidang lain untuk memahami pola-pola dimana
teks dan cara baca berinteraksi dengan dunia. Hal ini mendorong munculnya model
pembacaan baru. Karenanya, salah satu ciri khas teori kritis adalah pembacaan
kritis dari dari berbagai segi dan luas.
Teori kritis adalah
perangkat nalar yang, jika diposisikan dengan tepat dalam sejarah, mampu
merubah dunia. Pemikiran ini dapat dilacak dalam tesis Marx terkenal yang
menyatakan ”Filosof selalu menafsirkan dunia, tujuannya untuk merubahnya”. Ide
ini berasal dari Hegel dalamPhenomenology of Spirit, mengembangkan konsep
tentang objek bergerak yang, melalui proses refleksi-diri, mengetahui dirinya
pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Hegel menggabungkan filsafat tindakan
dengan filsafat refleksi sedemikian rupa sehingga aktivitas atau tindakan
menjadi momen niscaya dalam proses refleksi. Hal ini memunculkan diskursus
dalam filsafat Jerman tentang hubungan antara teori dan praktis, yakni bahwa
aktivitas praktis manusia dapat merubah teori. Teori kritis, dengan demikian,
adalah pembacaan filosofis-dalam arti tradisional yang disertai kesadaran
terhadap pengaruh yang mungkin ada dalam bangunan ilmu, termasuk didalamnya
pengaruh kepentingan.
C.Teori Kritis Mazhab Frankfurt
Para pendahulu Habermas memandang
pencerahan membuahkan Zweckrationalitat (rasionalitas tujuan), yang merupakan
sumber dari berbagai bentuk saintisme, positivism, teknokratisme dan barbarism
gaya baru. Aliran Frankfurt atau sering dikenal sebagai Mazhab Frankfurt (die
Frankfurter Schule) merupakan sekelompok pemikir sosial yang muncul dari
lingkungan Institut für Sozialforschung Universitas Frankfurt. Para pemikir
sosial Frankfurt ini membuat refleksi sosial kritis mengenai masyarakat
pasca-industri dan konsep tentang rasionalitas yang ikut membentuk dan
mempengaruhi tindakan masyarakat tersebut.
Cara berpikir aliran Frankfurt dapat dikatakan sebagai teori kritik masyarakat ataueine Kritische Theorie der Gesselschaft. Maksud teori ini adalah membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Sejak semula, Sekolah
Cara berpikir aliran Frankfurt dapat dikatakan sebagai teori kritik masyarakat ataueine Kritische Theorie der Gesselschaft. Maksud teori ini adalah membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Sejak semula, Sekolah
Frankfurt menjadikan pemikiran
Marx sebagai titik tolak pemikiran sosialnya. Tapi yang perlu harus diingat
adalah bahwa Sekolah Frankfurt tetap mengambil semangat dan alur dasar
pemikiran filosofis idealisme Jerman, yang dimulai dari pemikiran kritisisme
ideal Immanuel Kant sampai pada puncak pemikiran kritisisme historis
dialektisnya Georg William Friederich Hegel.
Dengan sangat cerdas, sebagian
besar pemikir dalam sekolah Franfurt berdialog dengan Karl Marx, Hegel dan I.
Kant. Jadi dapat dikatakan bahwa pemikiran dialektis materialis ekonomi Karl
Marx, pemikiran ideal rasional historis Hegel dan perspektif normatif subjek
otonom Immanuel Kant bukan merupakan barang- barang yang asing dalam pemikiran
Teori Kritis. Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Max Horkheimer menjabat
direktur Sekolah Frankfurt, pelan- pelan ia memasukkan pemikiran psikoanalisa
Sigmund Freud ke dalam pemikiran sosial Teori Kritis (meskipun dengan hal ini,
pemikiran kritis menuai kritik tajam sebagai pengkhianatan terhadap orthodoxi
marxisme).
D. Konstruksi Teori Kritis Habermas
Berpijak dari pembacaan
tentang masyarakat modern yang berjangkar pada tradisi pencerahan, Habermas
melihat beberapa tendensi menindas dari tradisi Pencerahan sebagaimana secara
terbuka telah diserang oleh Postmodernisme, karenanya dia menolak pendekatan
transendental dan idealistik atas rasio. Habermas ingin menyajikan sebuah
konsep rasio yang akan dapat dijadikan pijakan evaluasi terhadap norma-norma
sosial. Seluruh proyek Habermas mengarah pada pembebasan manusia atas segala
bentuk penindasan, termasuk sekalipun penindasan itu dilakukan dalam dan atas
nama ‘rasionalitas modern’[5].
Impresi masa muda Habermas ketika menyaksikan fakta-fakta yang terungkap
dalam pengadilan Nurenberg terkait dengan kejahatan kolektif atas kemanusiaan,
sungguh membentuk pandangan ontis tentang seluruh atribut manusia dan
masyarakat. Sangat menghentak nurani dan pikiran Habermas, sebagai sesuatu yang
ada dalam ketegangan antara aspek empiris dan transcendental. Kepentingan ini
mengarahkan pengetahuan kita, maka disebutnya “interest-kognitif” atau
“kepentingan konstitutif-pengetahuan”. Karena kepentingan ini konstitutif bagi
pengetahuan, dan bersifat empiris dan transcendental, tidak terpisah dari
konteks objektif proses kehidupan biasa tetapi sekaligus melampainya.
Kepentingan teknis ini merupakan orientasi dasariah ilmu-ilmu alam.
Karena itu, ilmu-ilmu alam sebenarnya berakar pada konteks kehidupan objektif
manusia sebagai spesies yang melangsungkan hidupnya melalui tindakan
instrumental. Atas dasar interests tersebut, Habermas menunjukkan implikasinya
dalam tiga disiplin ilmu pengetahuan. Interests yang berkaitan dengan kebutuhan
reproduksi dan kelestarian diri, lahirlah ilmu pengetahuan yang
bersifatempiris-analitis (analitis-empiris).Interests yang kedua berhubungan
dengan kebutuhan manusia untuk melakukan komunikasi dengan sesamanya di dalam
praktek sosial yang menimbulkan suatu ilmu pengetahuan yang
bersifathistories-hermeneutis (hermeneutis-historis)[6].
Dan interests yang ketiga
berhubungan dengan kepentingan yang mendorong diri untuk mengembangkan otonomi
dan tanggung jawab sebagai manusia, dan tercermin dalam ilmu pengetahuan yang
bersifat sosial-kritis (emansipatoris-kritis).
Dengan mendefinisikan kepentingan-kepentingan yang membentuk pengetahuan ini, Habermas ingin mengajak kita waspada terhadap klaim bahwa pengetahuan diidentifikasikan melalui kepentingan itu berciri alamiah, yaitu memuat aspek-aspek naluriah, psikologis, empiris, demi survivalmanusia di alam, tetapi juga sekaligus mengatasi alam, yaitu bersifat transcendental, memiliki klaim universal, dan mengatasi fungsiself-perservation sendiri. Habermas menolak reduksi pengetahuan pada satu kutub, entah empiris maupun transendental.
Dengan mendefinisikan kepentingan-kepentingan yang membentuk pengetahuan ini, Habermas ingin mengajak kita waspada terhadap klaim bahwa pengetahuan diidentifikasikan melalui kepentingan itu berciri alamiah, yaitu memuat aspek-aspek naluriah, psikologis, empiris, demi survivalmanusia di alam, tetapi juga sekaligus mengatasi alam, yaitu bersifat transcendental, memiliki klaim universal, dan mengatasi fungsiself-perservation sendiri. Habermas menolak reduksi pengetahuan pada satu kutub, entah empiris maupun transendental.
Habermas melihat adanya masalah ‘apriori’ yang ada pada pengorganisasian
pengalaman manusia yang ada pada semua ilmu, dan juga terjadi pada pembentukan
wilayah-wilayah objek ilmu sebagaimana disajikan oleh ‘kerangka transendental’.
Di dalam ruang
fungsional tindakan instrumental subjek menghadapi objek yang dinamis. Di sini sesuatu, peristiwa, dan kondisi
secara prinsip dapat dimanipulasi. Dalil bahwasetiap struktur logis ilmu
berkaitan erat dengan fungsi pragmatis dari pengetahuan ilmiah merupakan
pijakan penting dalam bangunan teori kritis Habermas. Dalil tersebut juga
membantu untuk memahami wilayah dan bentuk komunikasi intersubjektif yang
berbeda, yakni ‘dunia-hidup’. Dunia- hidup(lifeworld)adalah sebuah konsep yang
semula digunakan oleh Alfred Schutz untuk merujuk dunia kehidupan sehari-hari.
Bagi Habermas terdapat tiga dimensi dunia-hidup, yakni: dunia objektif yang
merepresentasikan fakta-fakta yang independen dari pemikiran manusia dan
berfungsi sebagai titik referensi umum untuk menentukan kebenaran;dunia sosial
yang terdiri dari hubungan- hubungan intersubjektif; dandunia subjektif dari
pengalaman pribadi. Bagi Habermas, pribadi yang dapat memilah tiga aspek dari
pengalaman dan perspektif yang melibatkan mereka, mencapai suatu pemahaman ‘tak
terpusat’ (decentered) dari dunia hidup[7].
E. Kritik Ideologi
E. Kritik Ideologi
Sebagai
kerangka dalam membangun keilmuan emansipatif, yang menyuarakan kesadaran
(refleksi diri), sasaran Teori Kritis adalah kritik terhadap segala bentuk
statisme, baik yang digerakkan oleh rasionalitas individu maupun ideologi
masyarakat. Dalam persoalan ideologi[8].
Teori Kritis memiliki tiga pandangan.Pertama, kritik secara radikal terhadap
masyarakat dan ideologi dominan.Kedua, kritik ideologi tidak dilakukan untuk
memberikan semacam justifikasi dalam bentuk ‘kritik moral’. Dan yangketiga,
Kritik sebagai jiwa dari ilmu pengetahuan social kritis. Dengan ketiga
pandangan ini, Habermas mengungkap ide yang secara terselubung dipakai untuk
menjelaskan dan membenarkan tindakan sebagai pengganti motif yang sebenarnya
dari tindakan itu. Dan selanjutnya dengan teorinya Habermas mengungkap
interests-interests manipulative dan menindas yang bersembunyi dibalik realita.
F. Epistemologi Teori Kritis
Teori kritis, dewasa ini mempunyai peran penting
dalam ilmu sosial, kepeduliannya terhadap emansipasi dan penindasan menjadikan teori ini semakin digemari oleh
mahasiswa di Jerman. Adalah madzab frankfrut atau Frankfruter School
lembaga yang mengambangkan teori kritis sebagai alat refleksi diri untuk keluar
dari dogmatisme baru.
Beberapa agenda Frakfruter School adalah
menyingkap penindasan yang mengatasnamakan rasionalisasi, menyingkap irrasionalisme
ideologi, dan membangun masyarakat komunikatif yang tidak ada dominasi, represi
dan paksaan. Oleh sebab dominasi selalu terselubung di balik rasionalisasi,
ideologi dan dogma-dogma, maka terlebih dahulu Frankfruter School
menelanjangi term tersebut.
Teori kritis merupakan sebuah metodologi yang
berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan.
Teori kritis tidak hanya berhenti pada data-data atau fakta-fakta obyektif
seperti yang dianut positifisme, akan tetapi menembus di balik realitas sosial
untuk menemukan kondisi-kondisi yang timpang. Akan tetapi teori kritis tidak
melayang-layang pada metafisika dan meninggalkan data empiris, tetapi
berdialektika antara pengetahuan yang bersifat transendental dan yang bersifat
empiris.
Teori kritis merupakan ideologi kritik,
yaitu suatu refleksi-diri untuk membebaskan pengetahuan manusia bila
pengetahuan itu jatuh dan membeku pada salah satu kutub, yaitu transendental
atau empiris.
Sebelum membahas definisi kritik, perlu diketahui
bahwa ilmu pengetahuan, menurut Habermas, dibedakan menjadi tiga kategori
dengan tiga macam kepentingan yang mendasarinya. Pertama, kelompok
ilmu empiris, adalah ilmu alam yang menggunakan paradigma positivisme,
kepentingannya adalah menaklukkan, menemukan hukum-hukum dan mengontrol alam. Kedua,
ilmu-ilmu humaniora, yang memiliki kepentingan praktis dan saling
memahami, seperti ilmu pengetahuan sosial budaya. Kepentingan ilmu ini bukan
untuk mendominasi atau menguasai, juga bukan membebaskan, tetapi memperluas
saling pemahaman. Ketiga, ilmu kritis yang dikembangkan melalui
refleksi diri, sehinga melalui refleksi diri, kita dapat memahami kondisi-kondisi
yang tidak adil dan tidak manusiawi dalam kehidupan. Kepentingannya adalah
emansipatoris.
Dari pembagian tersebut, dapat dipahami bahwa
kritik berarti refleksi-diri. Menurut Kant, kritik adalah mempertanyakan The
conditions of possibilities dari pengetahuan kita. Epistemologi kritik
Kant digunakan untuk merefleksikan secara kritis seluruh pengetahuan kita.
Wilayah penyelidikannya tidak terbatas hanya pada ilmu pengetahuan, melainkan
seluruh pengetahuan dan pengetahuan secara keseluruhan. Kritik, bagi Kant
menjadi mahkamah yang mengadili dan merefleksikan secara kritis pengetahuan,
sehingga kritis menjadi dasar yang paling mutlak bagi pengetahuan kita.
Epistemologi ini dikritik oleh Hegel. Menurut
Hegel, kritis adalah refleksi atau refleksi-diri atas rintangan-rintangan,
tekanan-tekanan dan kontradiksi-kontradiksi yang menghambat proses pembentukan
diri dari rasio dalam sejarah. Hegel mencoba meradikalisasikan teori kritis
Kant yang masih melambung. Hegel melontarkan pertanyaan, apakah kritik pengetahuan
yang dilontarkan Kant itu sendiri bukan suatu pengetahuan? kritik pengetahuan
yang dirumuskan oleh Kant telah terjebak pada lingkaran setan, karena Kant
memposisikan teori kritik pada tempat yang absolut, padahal teori kritik
tersebut adalah pengetahuan yang perlu direfleksikan dengan kritis. Artinya
teori kritikpun perlu dikritisi. Oleh sebab itu, teori kritis – untuk lolos
menjadi pengetahuan—harus bersifat epistemologis dan historis. Menurut Hegel,
Kant telah mendirikan mahkamah pengetahuan tanpa memikirkan asal-usul mahkamah
itu sendiri.
Atas dasar kritik Hegel tersebut, Habermas
merumuskan teori kritik yang memihak pada emansipatoris. Teori kritik
Frankfruter School mempunyai empat karakter. Pertama, teori kritik
bersifat historis. Artinya dikembangkan berdasarkan berdasarkan situasi
masyarakat kongret. Kedua, Teori kritis juga bersifat kritis terhadap
dirinya sendiri. Ketiga, memiliki kecurigaan kritis terhadap
masyarakat aktual. Keempat, teori kritis merupakan teori bermaksud
praktis.
Habermas ; Kritik Atas Rasionalisasi
Habermas mengkritik rasio untuk menyingkap
kepentingan ilmu pengetahuan. Karena melalui rasio, ilmu pengetahuan menjustifikasi diri bahwa dirinya
netral, bebas dari kepentingan. Rasiolah yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan
netral, rasio atau ilmu pengetahuan ilmiah selalu mengatakan dirinya paling
obyektif.
Saat ini, hampir setiap negara mengarahkan proses
modernisasi kearah rasionalisasi atau apa yang disebut “kebudayaan ilmu
modern”. Habermas mempersoalkan kembali makna rasio yang lazim dianut dalam
masyarakat, yakni rasio berfungsi sebagai alat netral untuk mengoprasionalkan
sebuah sistem. Adalah yang rasioanal itu operasional, efektif, efisien, dapat
diotomatisasikan, penguasaan lewat tombol kontrol. Penilaian moral, agama dan
hasrat pembebasan dianggap mengusir kenetralan rasio. Jika ingin mendapatkan
teori yang rasional dan netral, maka tinggalkan prasangka pribadi, tinggalkan
penilaian moral, tinggalkan kebudayaan, tinggalkan ideologi agama, tinggalkan
rasialisme, karena semua itu dapat mempengaruhi kenetralan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan harus bebas nilai, bebas kepentingan, harus berdiri sendiri,
harus melepaskan rasa kasihan, harus melepaskan apa yang ada disekirtarnya.
Rasio adalah murni menggunakan mekanisme yang masuk akal.
Pandangan seperti ini dikritik oleh Habermas.
Karena menyebabkan teori terlepas dari praktis yang disebabkan oleh tuntutan
netralisme tersebut. Peran teori dalam membimbing tingkah laku seseorang sudah
hilang. Dalam filsafat Yunani, seorang filsuf membangun teori untuk menjadi
tuntunan hidup. Misalnya socrtes, menciptakan teori kebenaran obyektif. Teori
ini diciptakan agar menusia tidak bingung dengan subyektifisme yang selalu
digemakan oleh kaum sofis. Sehingga teori mempunyai peran emansipasi pada
tingkat praktis. Tetapi saat ini teori diterbangkan tinggi untuk meninggalkan
praksis, demi menggapai klaim netral. Pandangan –bahwa rasional adalah ilmiah ,
teori harus independen, ilmu pengetahuan harus netral—inilah yang dikritik oleh
Habermas.
Menurut Habermas, teori harus berpihak pada
emansipasi yang bisa menuntun kehidupan praksis yang nantinya akan menghasilkan
transformasi sosial. Yang dimaksud emansipasi adalah bukan semata-mata
pembebasan dari kendala-kendala sosial, seperi : perbudakan, kolonialisme,
kekuasaan yang menindas. Tetapi juga “ketidaktahuan”. Seseorang dapat dikatakan
mengalami emansipasi jika dia beralih dari situasi “ketidaktahuan” menjadi
“tahu”. Pengetahuan dan ketidaktahuan diukur menurut skala penilaian yang ada
pada saat itu.
Menurut Habermas, dogmatisme adalah bentuk
pengetahuan yang mapan, pada situasi sosial tertentu cenderung berkuasa menjadi
juru tafsir satu-satunya yang benar atas realitas. Bentuk-bentuk pengetahuan
itu lalu juga menyingkirkan tafsir-tafsir yang bertentangan, bahkan dianggap
sebagai “Bid’ah”. Sistem pengetahuan absolut dan totaliter adalah dogmatisme.
Seorang yang memegang teguh sistem tertutup ini bisa dikatakan “tahu”, tetapi
dalam wawasan sistem yang berlaku itu. Apakah orang ini tahu kebenaran yang lebih
luas dari pada sistem itu? dalam kata lain, orang tersebut mengalami
ketidaktahuan justru karena kelekatannya pada sistem pengetahuan itu. Teori dan
ilmu pengetahuan harus memberikan kepentingan memberi emansipasi kepada
masyarakat, yaitu proses pencerahan atas “ketidaktahuan” akibat dogmatisme itu.
Dewasa ini, ilmu-ilmu positif dan teknologi
diterapkan dan diperluas ke dalam berbagai bidang kegiatan ekonomi dan sosial
masyarakat. Kondisi semacam ini menyebabkan hubungan teori dengan praksis
semakin meregang disebabkan karena mekanisme teknologi yang tidak perduli
dengan emansipasi. Kegiatan-kegiatan prosdktif masyarakat dalam industri,
teknologi, ilmu pengetahuan dan administrasi menjadi terkait dan saling
menopang mengarah pada penaklukan alam atau “kontrol teknis atas alam”. Semua
ini menyebabkan praksis dimengerti sebagai penerapan-penerapan teknik-teknik
yang diarahkan oleh rasio yang sekarang terwujud dalam ilmu pengetahuan itu,
sehingga lama-kelamaan potensi sosial rasio, dalam ilmu pengetahuan direduksi
ke kekuatan-kekuatan kontrol teknis.
Hal itu akan menyingkirkan potensi sosial ilmu
pengetahuan untuk menghasilkan emansipasi sosial. Ilmu pengetahuan yang semula
membantu mengarahkan proses perkembangan hidup manusia menjadi otonomi dan
tanggungjawabnya lama-kelamaan menyibukan diri dengan manipulasi teknis atas
proses-proses alamiah. Rasio tidak lagi dipahami sebagai kemampuan kognitif
untuk memanipulasi dan mengontrol alam. Dengan demikian pengertian “keputusan”
yang dulunya dipertimbangkan yang matang sebagai perwujudan emansipasi sosial
saat ini semakin menjadi otomatisasi dengan “tekan tombol”, mesin sebagai
otomatisasi keputusan sedangkan pertimbangan etis disingkirkan.
Dalam kehidupan kita, “dogmatisme” selalu
dipertentangkan dengan “rasio”, karena dogmatisme adalah prasangka-prasangka
yang membuat pikiran menjadi rancu yang menyelubungi pikiran sejak masa
kanak-kanak. Prasangka adalah sebuah kekeliruan atau kesesatan yang dianut oleh
sebuah zaman dan tertanam dalam institusi-institusi sebuah masyarakat yang
sesat. Sedangkan rasio bukanlah opini atau prasangka, melainkan pengertian yang
dihasilkan dengan pengalaman dan belajar atau riset. Sedangkan setiap orang
yang melakukan riset harus melepaskan penilaian ideologis, penilaian etnis,
kepentingan ideologis, kepentingan agama dan kepentingan emansipatori.
Bersamaan dengan itu, kepentingan, kecenderungan, spontanitas harapan,
tanggapan terhadap penderitaan dan penindasan, hasrat untuk meraih otonomi yang
dewasa, kehendak untuk emansipasi dan kebahagiaan untuk menemukan diri-semua
itu disingkirkan dari riset/rasio dan dituduh sebagai faktor subyektif. Teori
yang merefleksikan agama, moral, budaya dianggap dogmatis. Situasi semacam ini,
disebut Habermas dengan pengasingan rasio dari kehidupan.
Pertanyaannya, apakah rasio yang sudah dipisahkan
dari praksis itu benar-benar rasio yang netral? Justru menempatkan rasio pada
tempat yang netral adalah kepentingan besar yang terselubung untuk membenarkan
kontrol-kontrol teknis atas alam. Rasio –yang diasingkan ini—memihak pada
kepentingan teknis untuk mengontrol, seperti efisiensi, kegunaan dan lain
sebagainya. Rasio bila ditopang menjadi mekanisme-mekanisme mesin, justru
menjadi “dogmatisme ilmiah” karena rasio ini anti terhadap dialog dengan
kepentingan-kepentingan individu, bahkan jika sudah menjadi alat paten, sang
pencipta mesinpun tidak bisa berdialog dengan mesin. Bahkan sang pincipta mesin
harus mengikuti aturan-aturan mesin yang dia ciptakan sendiri. Sehingga “rasio”
telah meninggalkan kepentingan emansipasi, moral, dan berpindah menuju
kepentingan teknis.
Saat ini orang beranggapan bahwa dengan rasio
teknologis, menusia mendapatkan kemudahan, kemerdekaan, serta mempunyai
kekuatan untuk mendongkrak mitos-mitos tradisional yang menteror manusia. Akan tetapi
ternyata rasio teknologis menjadi juru tafsir satu-satunya (mendominasi)
seluruh fenomina sosial –tidak hanya alam—sehingga dia menjadi mitos dan
ideologi baru yang total dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi.
Rasionalitas yang dibangun oleh kaum positivisme
akhirnya memunculkan tragedi besar, karena mendewakan rasionalitasnya yang
semula dianggap mampu memberikan kebebasan, dewasa ini justru terperangkap
dalam jaringan birokrasi yang kehilangan makna serta aspirasinya sebagai
mahkluk yang bermartabat.
Pertanyaan yang paling akhir adalah ; rasionalitas
semacam apakah yang bisa menyebabkan transformasi sosial, kultural dan
personal? Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu diulas pembagian rasionalitas.
Menurut Habermas, rasionalitas terbagi menjadi tiga. Pertama,
Rasionalitas Tindakan. Yaitu rasionalitas teknis yang mengacu pada perhitungan
yang masuk akal untuk mencapai sasaran berdasarkan pilihan yang masuk akal
dengan sarana teknis, teknologis, mekanis dan birokratis. Kedua,
Rasionalitas Tujuan. Adalah rasio yang hanya mementingkan tujuan, dan tidak
mengindahkan nilai-nilai yang dihayati sebagai isi kesadaran. Ketiga,
Rasionalitas Nilai. Cirinya adalah orang yang bertindak dengan rasio ini
mementingkan komitmen rasionalnya terhadap nilai yang dihayatinya secara
pribadi. Setiap “rasionalitas” di atas berpotensi untuk menyebabkan perubahan.
Akan tetapi rasio yang manakah yang melahirkan perubahan tanpa penindasan,
represi dan tanpa merampas kemerdekaan? Adalah Rasio yang terakhir, karena
rasio ini tidak menyingkirkan nilai etis serta moral dan dimungkinkan adanya
komunikasi yang seimbang tanpa ada pemaksaan dan dominasi.
Habermas : Kritik-Ideologi.
Menurut Habermas, ideologi adalah manipulasi yang
berbentuk tidak sadar. Ideologi selalu ingin mendominasi dan menang, ingin
menunjukan bahwa dirinya yang terhebat. Oleh sebab itu, Luis Altusser
mengatakan bahwa ideologi dapat dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan,
bahkan Altusser menyetarakan –cara pelanggengan kekuasaan dengan—”ideologi”
dengan cara “represif”. Gramci berpendapat bahwa ideologi dapat digunakan
sebagai alat untuk menghegemoni individu-individu yang tidak sadar.
Menurut Habermas, ideologi amat sarat dengan
kepentingan. Oleh sebab itu, Habermas membagi kepentingan menjadi “Kepentingan
Kutub Empiris” dan “Kepentingan Kutub Transendental”. Yang pertama berkaitan
dengan kondisi sosio-historis manusia sebagai spesies yang berkehendak.
Sedangkan yang kedua berkaitan dengan pengetahuannya yang bersifat normatif
ideal. Kritik Ideologi bekerja dalam dua tataran ini. Yaitu untuk mencari
pertautan keduanya manakala pemikiran manusia membeku pada salah satu kutub
kepentingan tersebut.
Jika ideologi adalah sebuah cara pandang yang
menghegemoni dan mengakar pada jiwa seseorang, maka dengan kritik–refleksi
diri, individu akan memahami posisi diri sendiri, individu juga akan menyadari
kepentingan untuk membebaskan diri dari kungkungan ideologi. Individu memiliki
kemampuan untuk mencapai otonomi dan tanggung jawab atau pendewasaan.
Masyarakat Komunikatif Sebagai Jalan Keluar.
Singkat kata, Habermas menawarkan sebuah
masyarakat tanpa dominasi, paksaan dan bebas penguasaan. Dengan apa? Dengan
komunikasi. Yaitu “komunikasi bebas penguasaan”. Suatu komunikasi yang tidak
terdistorsi secara ideologis. Bagaimana cara mengetahui bahwa suatu komunikasi
bersifat murni dan bebas dari dominasi ideologi? yaitu komunikasi yang
seimbang, setiap partisipan memiliki kesempatan yang sama untuk melibatkan diri
dalam perbincangan dan mengemukakan persetujuan-persetujuan, penolakan-penolakan,
keterangan-keterangan, penafsiran-penafsiran, tetapi dengan tulus mengungkapkan
perasaan-perasaan dengan sikap-sikap mereka tanpa pembatasan dari suatu
kekuasaan. Komunikasi yang menghasilkan dengan konsensus-konsensus rasional
yang dicapai oleh subyek-subyek yang berkompeten –ijma’–. Proses dialog itu
ditempatkan dalam rangka proses menjadi dialog. Sebagai suatu arah umum, dialog
itu mengerah pada suatu kebenaran sebagai konsensus. Lalu bagaimana mengetahui
bahwa konsensus itu benar? Nabi SAW pernah bersabda ”Laa tajtami’uu ummati
‘ala al-khoto’, umatku tidak akan bersepakat dalam kesalahan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Analisis-analisis
epistemologis Habermas merupakan kritikan yang tajam terhadap scientisme dan
positivisme yang memberhalakan sains dan teknologi modern sebagai kebenaran
yang universal yang bebas kepentingan. Analisis-analisis Habermas masih tetap
relevan untuk masyarakat Indonesia yang masih terus mencari orientasi bagi
strategi modernitasnya. Pesannya amat jelas ”waspadalah terhadap positivisme
dan ilmu-ilmu sosial dan berbagai bentuk social enginering yang tidak
melibatkan public dalam mengambil keputusan yang menyangkut kehidupan
bersama,karena sains dan teknologi tidak netral dari kepentingan-kepentingan.”
Tujuan yang mau dicapai oleh Habermas adalah merumuskan syarat-syarat nyata
untuk mewujudkan masyarakat yang bebas dari penindasan. Karena itu. Habermas
mencoba mengembangkan teori kritis masyarakat.
Ideologi
yang difahami Habermas sebagai kepercayaan, norma atau nilai yang dianut an
dikenal sebagai weltanschauung ( world view ), sekaligus merupakan sudut
pandang tertentu dalam memandang realitas sosial.
Segala
bentuk ideologi dari kesadaran tidak akan diteliti apakah ia benar
,memuaskan,buruk dan sebagainya, kritik ideologis mempermasalahkan apakah
sesuatu hal itu merupakan kesadaran palsu,khayalan atau yang lainnya.
B. Saran dan krtitikan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Axel honneth,Teori Kritis.dalam
Anthony Giddens and Jnoathan H.Tunner,Social Theory Today Panduan Sistematis
Tradisi dan Tren Terdepan teori Sosial,Penerjemah Yudi Santoso.Pustaka
Pelajar.2008.Hal.606
2.
Bernard Delfgauw.Filsafat Abad 20.Penerjemah.Soejono Suemarno.Pen
PT Tiara Wacana Yogyakarta.2001.Hal.163
3.
Sindung Tjahyadi.Teori Kritis
Jurgem Habermas:Asumsi-Asumsi Dasar Menuju metodolgi Kritik Sosial,Dalam Junal
Filsafat.Agustus 2003.Jilid 34.nomor 2 Hal.181
4.
Ideologi dipahami Habermas sebagai, norma atau nilai yang dianut dan
dikenal sebagai weltanschauung ( world view ),sekaligus sebagai pandangan
tertentu dalam memandang realitas social.Lihat Muhammad Muslih
[1].Axel
honneth,Teori Kritis.dalam Anthony Giddens and Jnoathan H.Tunner,Social
Theory Today Panduan Sistematis Tradisi dan Tren Terdepan teori
Sosial,Penerjemah Yudi Santoso.Pustaka Pelajar.2008.Hal.606
[2].Ibid.,
[3].Ibid.,Hal.9
[4].Bernard
Delfgauw.Filsafat Abad 20.Penerjemah.Soejono Suemarno.Pen PT Tiara
Wacana Yogyakarta.2001.Hal.163
[5].Sindung
Tjahyadi.Teori Kritis Jurgem Habermas:Asumsi-Asumsi Dasar Menuju metodolgi Kritik
Sosial,Dalam Junal Filsafat.Agustus 2003.Jilid 34.nomor 2 Hal.181
[6].Habermas.Ilamu
Dan Teknologi Sebagai Ideologi.Terjemahan Hasan
Basri.Jakarta.LP3ES.1990.Hal.43.dikutip dari Muhammad Muslih.Ibid.,Hal.167
[7].Habermas.1990.Hal.133-141
[8].Ideologi
dipahami Habermas sebagai, norma atau nilai yang dianut dan dikenal sebagai
weltanschauung ( world view ),sekaligus sebagai pandangan tertentu dalam
memandang realitas social.Lihat Muhammad Muslih.Ibid.,Hal.173
Tidak ada komentar:
Posting Komentar