Selasa, 30 April 2013

TEORI KRITIS “EMANSIPATORIS “HABERMAS


Kata pengantar

     

            Puji syukur kita serahkan kepada orang yang tidak pernah tidur untuk menjaga kelestarian alam,atas rahmatnyalah kita bisa beraktifitas sehingga makalah ini bias terselesaikan dengan sesederhana mungkin. Sholawat dan salam kita kirimkan buat junjungan  alam karena berkat perjuangan beliau kita bisa menikmati hidup.

            Ucapan terima kasih tek terhingga kami ucapkan pada ibu dosen pembimbing dalam makalah ini yang telah banyak memberikan masukan tentang penulisan makalah ini, tak lupa pula kami ucapkan terima kasih pada teman-teman yang memberikan saran dan dorongan pada kami sehingga makalah yang berjudul

 TEORI KRITIS “EMANSIPATORIS “HABERMAS

            Kami sebagai penulis mengharapkan kritikan dan saran demi kebagusan makalah kami ini,dan kami maaf jika ada kesalahan kata yang salah.





Pekanbaru 30 April 2013

ISMAIL



BAB I
PENDAHULUAN

Jurgen Habermas tidak diragukan lagi merupakan filsuf Jerman terpenting saat ini. Tulisan-tulisannya sejak lebih 20 tahun dibicarakan di Fakultas-Fakultas filsafat Eropa kontinental. Mempelajari Habermas bukan hal yang mudah. Gagasan-gagasannya biasanya tidak diutarakan secara langsung, malainkan selagi membahas pikiran orang lain. Dengan leluasa dia berdialog dengan Thomas Aquinas, Kant, Fichte, Hegel, Marx, Comte dengan Freud dan Dilthe, dengan Pierce, Kohiberg dan banyak tokoh lain. Itulah yang membuat bacaan Habermas begitu berat. Sering kita merasa seakan-akan langsung dilemparkan kedalam sebuah pembiaran yang sudah sedang berjala, dimana semua istilah khusus diandaikan sudah diketahui. Habermas tidak mengambil pusing menjelaskan kepada pembaca metode pendekatannya. Bahasanya sulit dan sangat teknis…….(Franz Magnis Suseno).
Memang benar, rasanya sangat kikuk mengatakan tidak sulit untuk memahami pemikiran Habermas. Sesuatu yang dibicarakan Habermas sama sekali tidak pernah terbesit di pikiran kita, bahkan kesadaran kitapun tidak pernah sampai, apa yang dibicarakan masih berada di luar kesadaran kita, atau sekurang-kurangnya, kalau ada, baru menjadi kesadaran segelintir orang yang punya waktu untuk merenung.
Masalah yang mengemuka dalam filsafat sosial dan politik terkait dengan hakikat suatu kajian filsafat tercermin dalam pertanyaan-pertanyaan: Apa peran yang semestinya dilakukan oleh ‘rasio’ dalam refleksi-refleksi abstrak tentang masyarakat? Apakah suatu teoritisasi atas dasar suatu perspektif yang tidak memihak dan netral tentang masyarakat itu mungkin? Ataukah teoritisasi yang ada ini hanyalah sebuah permukaan dari suatu pemikiran yang sesungguhnya bias dan ditujukan hanya untuk kepuasan diri sendiri?
Tanpa mengabaikan semua minat yang terus ada dan bahkan semakin meningkat, teori kritis telah menarik perhatian dunia internasional. Sebuah kesadaran kritis mulai muncul terkait dengan pencapaian teoretisnya dewasa ini. Setiap gelombang minat baru, dengan seluruh upaya risetnya, menghilangkan dari proyek lama satu-dua elemen awalnya yang terkenal. Sehingga secara bertahap membentuk teori kritis menjadi sebuah pendekatan teoretis yang realistis dan terbuka untuk diverifikasi. Oleh karena itulah, upaya-upaya untuk merekonstruksi secara sistematis teori kritis selalu beranjak dari temuan-temuan kritis bahwa teori ini tidak membumi[1].
             Teori kritis yang akan dibahas adalah sebutan untuk orientasi teoritis tertentu yang bersumber dari Kant, Hegel dan Marx, kemudian disistematisasi oleh Horkheimer dan sejawatnya di Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, dan dikembangkan oleh Habermas. Secara umum istilah ini merujuk pada elemen kritik dalam filsafat Jerman yang dimulai dengan pembacaan kritis Hegel terhadap Kant.
Secara lebih khusus, teori kritis terkait dengan orientasi tertentu terhadap pengetahuan. Kant dengan epistemologinya berusaha menunjukkan bahwa rasio dapat menjadi kritis terhadap kemampuannya sendiri. Dengan kata lain, kritik dalam arti Kantian berarti kegiatan menguji sahih tidaknya klaim pengetahuan tanpa prasangka, dan kegiatan ini dilakukan oleh rasio filsafat yang ”dilahirkan” di Frankfurt. Yaitu teori kritis yang merupakan program metodologis jangka panjang yang selalu diperbaiki dan dilengkapi dengan wawasan baru, dan pengembangan teori ini bertujuan untuk mengaitkan rasio dan kehendak, riset dan nilai, pengetahuan dan kehidupan, teori danpraxis. Dengan singkat bisa dikatakan, bahwa teori kritik yang disusun dengan maksud praktis.[2]



BAB II
A.Latar Belakang Jurgem Habermas
Jurgen Habermas adalah filsuf kontemporer yang tidak diragukan lagi merupakan filsuf Jerman terpenting dewasa ini[3]. Ia dilahirkan pada 18 Juni 1929 di daerah Dusseldorf Jerman. Habermas merupakan anak Ketua Kamar Dagang propinsi Rheinland – Westfalen di Jerman Barat. Ia dibesarkan di Gummersbach, sebuah kota menengah di Jerman dengan dinamika lingkungan Borjuis-Protestan. Pada tahun 1953, ketika Habermas sedang sibuk menulis disertasi doktor, ia menerbitkan artikel yang berjudul “Berpikir Bersama Heidegger Melawan Heidegger”. Di lingkungan filsafat akademik Jerman pasca kehancuran akibat Perang Dunia II, Heidegger bagaikan tiang penunjang yang diandalkan, jembatan antara dunia yang berantakan sehabis Hitler dan tradisi luhur filsafat Jerman. Dengan sangat kritis, Habermas berujar “Ingatlah, bagaimana dulu Heidegger memuji Nazi” Bahkan filsafat Heideggerpun dicela Habermas, “bisa dipakai untuk apa-apa saja”.
Habermas berhasil menyelesaikan disertasinya pada 1954 di Universitas Bonn Jerman, dengan menulis “Das Absolute und die Geschichte.
Von der Zwiespältigkeit in Schellings Denken (The absolute and history: on the contradiction in Schelling’s thought)”.
Habermas bertolak dari Teori Kritis Masyarakat Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno. Ia hendak mengembangkan gagasan teori masyarakat yang dicetuskan dengan maksud yang belaka. Sedangkan Kritik dalam artiHegelian adalahrefleksi atauRefleksi-diri atas rintangan, tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan-diri dari rasio dalam sejarah. Dengan kata lain, kritik berartirefleksi atas proses menjadi sadar atau negasi dan dialektika, karena bagi Hegel kesadaran timbul melalui rintangan.

B. Teori kritis(Critical Theory)
 Teori kritik hendak memberikan sesuatu yang lain yang bukan berupa pencerminan tidak memihak mengenai masyarakat dewasa ini. Dengan menimbulkan kesadaran bahwa suatu filsafat masyarakat tanpa penyelidikan empiric hanya akan menghasilkan rangka pemikiran yang hampa, yang tidak memberikan keinsyafan apapun mengenai struktur masyarakat yang ada. Sebaliknya, penyelidikan empiric akan merupakan kegiatan yang sia-sia, bila tidak disertai kerangka kefilsafatan yang mewadahi serta memberi makna kepada penyelidikan tersebut.[4]
Teori kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya dan komunikasi dalam perspektif yang luas dan beragam. Ia bertujuan untuk melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yang kita alami dan cara kita mendefinisikan diri sendiri, budaya kita, dan dunia. Saat ini teori kritis menjadi salah satu alat epistemologis yang dibutuhkan dalam studi humaniora. Hal ini didorong oleh kesadaran bahwa makna bukanlah sesuatu yang alamiah dan langsung. Bahasa bukanlah media transparan yang dapat menyampaikan ide-ide tanpa distorsi, sebaliknya ia adalah seperangkat kesepakatan yang berpengaruh dan menentukan jenis-jenis ide dan pengalaman manusia.
Dengan berusaha memahami proses dimana teks, objek, dan manusia diasosiasikan dengan makna-makna tertentu, teori kritis mempertanyakan legitimasi anggapan umum tentang pengalaman, pengetahuan, dan kebenaran. Dalam interaksi sehari-hari dengan orang lain dan alam, dalam kepala seseorang selalu menyimpan seperangkat kepercayaan dan asumsi yang terbentuk dari pengalaman—dalam arti luas—dan berpengaruh pada cara pandang seseorang, yang sering tidak tampak. Teori kritis berusaha mengungkap dan memertanyakan asumsi dan praduga itu. Dalam usahanya, teori kritis menggunakan ide-ide dari bidang lain untuk memahami pola-pola dimana teks dan cara baca berinteraksi dengan dunia. Hal ini mendorong munculnya model pembacaan baru. Karenanya, salah satu ciri khas teori kritis adalah pembacaan kritis dari dari berbagai segi dan luas.
Teori kritis adalah perangkat nalar yang, jika diposisikan dengan tepat dalam sejarah, mampu merubah dunia. Pemikiran ini dapat dilacak dalam tesis Marx terkenal yang menyatakan ”Filosof selalu menafsirkan dunia, tujuannya untuk merubahnya”. Ide ini berasal dari Hegel dalamPhenomenology of Spirit, mengembangkan konsep tentang objek bergerak yang, melalui proses refleksi-diri, mengetahui dirinya pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Hegel menggabungkan filsafat tindakan dengan filsafat refleksi sedemikian rupa sehingga aktivitas atau tindakan menjadi momen niscaya dalam proses refleksi. Hal ini memunculkan diskursus dalam filsafat Jerman tentang hubungan antara teori dan praktis, yakni bahwa aktivitas praktis manusia dapat merubah teori. Teori kritis, dengan demikian, adalah pembacaan filosofis-dalam arti tradisional yang disertai kesadaran terhadap pengaruh yang mungkin ada dalam bangunan ilmu, termasuk didalamnya pengaruh kepentingan.
C.Teori Kritis Mazhab Frankfurt
           Para pendahulu Habermas memandang pencerahan membuahkan Zweckrationalitat (rasionalitas tujuan), yang merupakan sumber dari berbagai bentuk saintisme, positivism, teknokratisme dan barbarism gaya baru. Aliran Frankfurt atau sering dikenal sebagai Mazhab Frankfurt (die Frankfurter Schule) merupakan sekelompok pemikir sosial yang muncul dari lingkungan Institut für Sozialforschung Universitas Frankfurt. Para pemikir sosial Frankfurt ini membuat refleksi sosial kritis mengenai masyarakat pasca-industri dan konsep tentang rasionalitas yang ikut membentuk dan mempengaruhi tindakan masyarakat tersebut.
Cara berpikir aliran Frankfurt dapat dikatakan sebagai teori kritik masyarakat ataueine Kritische Theorie der Gesselschaft.
Maksud teori ini adalah membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Sejak semula, Sekolah
Frankfurt menjadikan pemikiran Marx sebagai titik tolak pemikiran sosialnya. Tapi yang perlu harus diingat adalah bahwa Sekolah Frankfurt tetap mengambil semangat dan alur dasar pemikiran filosofis idealisme Jerman, yang dimulai dari pemikiran kritisisme ideal Immanuel Kant sampai pada puncak pemikiran kritisisme historis dialektisnya Georg William Friederich Hegel.
Dengan sangat cerdas, sebagian besar pemikir dalam sekolah Franfurt berdialog dengan Karl Marx, Hegel dan I. Kant. Jadi dapat dikatakan bahwa pemikiran dialektis materialis ekonomi Karl Marx, pemikiran ideal rasional historis Hegel dan perspektif normatif subjek otonom Immanuel Kant bukan merupakan barang- barang yang asing dalam pemikiran Teori Kritis. Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Max Horkheimer menjabat direktur Sekolah Frankfurt, pelan- pelan ia memasukkan pemikiran psikoanalisa Sigmund Freud ke dalam pemikiran sosial Teori Kritis (meskipun dengan hal ini, pemikiran kritis menuai kritik tajam sebagai pengkhianatan terhadap orthodoxi marxisme).
D. Konstruksi Teori Kritis Habermas
Berpijak dari pembacaan tentang masyarakat modern yang berjangkar pada tradisi pencerahan, Habermas melihat beberapa tendensi menindas dari tradisi Pencerahan sebagaimana secara terbuka telah diserang oleh Postmodernisme, karenanya dia menolak pendekatan transendental dan idealistik atas rasio. Habermas ingin menyajikan sebuah konsep rasio yang akan dapat dijadikan pijakan evaluasi terhadap norma-norma sosial. Seluruh proyek Habermas mengarah pada pembebasan manusia atas segala bentuk penindasan, termasuk sekalipun penindasan itu dilakukan dalam dan atas nama ‘rasionalitas modern’[5].
              Impresi masa muda Habermas ketika menyaksikan fakta-fakta yang terungkap dalam pengadilan Nurenberg terkait dengan kejahatan kolektif atas kemanusiaan, sungguh membentuk pandangan ontis tentang seluruh atribut manusia dan masyarakat. Sangat menghentak nurani dan pikiran Habermas, sebagai sesuatu yang ada dalam ketegangan antara aspek empiris dan transcendental. Kepentingan ini mengarahkan pengetahuan kita, maka disebutnya “interest-kognitif” atau “kepentingan konstitutif-pengetahuan”. Karena kepentingan ini konstitutif bagi pengetahuan, dan bersifat empiris dan transcendental, tidak terpisah dari konteks objektif proses kehidupan biasa tetapi sekaligus melampainya.
              Kepentingan teknis ini merupakan orientasi dasariah ilmu-ilmu alam. Karena itu, ilmu-ilmu alam sebenarnya berakar pada konteks kehidupan objektif manusia sebagai spesies yang melangsungkan hidupnya melalui tindakan instrumental. Atas dasar interests tersebut, Habermas menunjukkan implikasinya dalam tiga disiplin ilmu pengetahuan. Interests yang berkaitan dengan kebutuhan reproduksi dan kelestarian diri, lahirlah ilmu pengetahuan yang bersifatempiris-analitis (analitis-empiris).Interests yang kedua berhubungan dengan kebutuhan manusia untuk melakukan komunikasi dengan sesamanya di dalam praktek sosial yang menimbulkan suatu ilmu pengetahuan yang bersifathistories-hermeneutis (hermeneutis-historis)[6].
             Dan interests yang ketiga berhubungan dengan kepentingan yang mendorong diri untuk mengembangkan otonomi dan tanggung jawab sebagai manusia, dan tercermin dalam ilmu pengetahuan yang bersifat sosial-kritis (emansipatoris-kritis).
Dengan mendefinisikan kepentingan-kepentingan yang membentuk pengetahuan ini, Habermas ingin mengajak kita waspada terhadap klaim bahwa pengetahuan diidentifikasikan melalui kepentingan itu berciri alamiah, yaitu memuat aspek-aspek naluriah, psikologis, empiris, demi survivalmanusia di alam, tetapi juga sekaligus mengatasi alam, yaitu bersifat transcendental, memiliki klaim universal, dan mengatasi fungsiself-perservation sendiri. Habermas menolak reduksi pengetahuan pada satu kutub, entah empiris maupun transendental.
                 Habermas melihat adanya masalah ‘apriori’ yang ada pada pengorganisasian pengalaman manusia yang ada pada semua ilmu, dan juga terjadi pada pembentukan wilayah-wilayah objek ilmu sebagaimana disajikan oleh ‘kerangka transendental’. Di dalam ruang fungsional tindakan instrumental subjek menghadapi objek yang dinamis. Di sini sesuatu, peristiwa, dan kondisi secara prinsip dapat dimanipulasi. Dalil bahwasetiap struktur logis ilmu berkaitan erat dengan fungsi pragmatis dari pengetahuan ilmiah merupakan pijakan penting dalam bangunan teori kritis Habermas. Dalil tersebut juga membantu untuk memahami wilayah dan bentuk komunikasi intersubjektif yang berbeda, yakni ‘dunia-hidup’. Dunia- hidup(lifeworld)adalah sebuah konsep yang semula digunakan oleh Alfred Schutz untuk merujuk dunia kehidupan sehari-hari. Bagi Habermas terdapat tiga dimensi dunia-hidup, yakni: dunia objektif yang merepresentasikan fakta-fakta yang independen dari pemikiran manusia dan berfungsi sebagai titik referensi umum untuk menentukan kebenaran;dunia sosial yang terdiri dari hubungan- hubungan intersubjektif; dandunia subjektif dari pengalaman pribadi. Bagi Habermas, pribadi yang dapat memilah tiga aspek dari pengalaman dan perspektif yang melibatkan mereka, mencapai suatu pemahaman ‘tak terpusat’ (decentered) dari dunia hidup[7].
E. Kritik Ideologi
            Sebagai kerangka dalam membangun keilmuan emansipatif, yang menyuarakan kesadaran (refleksi diri), sasaran Teori Kritis adalah kritik terhadap segala bentuk statisme, baik yang digerakkan oleh rasionalitas individu maupun ideologi masyarakat. Dalam persoalan ideologi[8]. Teori Kritis memiliki tiga pandangan.Pertama, kritik secara radikal terhadap masyarakat dan ideologi dominan.Kedua, kritik ideologi tidak dilakukan untuk memberikan semacam justifikasi dalam bentuk ‘kritik moral’. Dan yangketiga, Kritik sebagai jiwa dari ilmu pengetahuan social kritis. Dengan ketiga pandangan ini, Habermas mengungkap ide yang secara terselubung dipakai untuk menjelaskan dan membenarkan tindakan sebagai pengganti motif yang sebenarnya dari tindakan itu. Dan selanjutnya dengan teorinya Habermas mengungkap interests-interests manipulative dan menindas yang bersembunyi dibalik realita.
F. Epistemologi Teori Kritis
Teori kritis, dewasa ini mempunyai peran penting dalam ilmu sosial, kepeduliannya terhadap emansipasi dan penindasan menjadikan teori ini semakin digemari oleh mahasiswa di Jerman. Adalah madzab frankfrut atau Frankfruter School lembaga yang mengambangkan teori kritis sebagai alat refleksi diri untuk keluar dari dogmatisme baru.
Beberapa agenda Frakfruter School adalah menyingkap penindasan yang mengatasnamakan rasionalisasi, menyingkap irrasionalisme ideologi, dan membangun masyarakat komunikatif yang tidak ada dominasi, represi dan paksaan. Oleh sebab dominasi selalu terselubung di balik rasionalisasi, ideologi dan dogma-dogma, maka terlebih dahulu Frankfruter School menelanjangi term tersebut.
Teori kritis merupakan sebuah metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Teori kritis tidak hanya berhenti pada data-data atau fakta-fakta obyektif seperti yang dianut positifisme, akan tetapi menembus di balik realitas sosial untuk menemukan kondisi-kondisi yang timpang. Akan tetapi teori kritis tidak melayang-layang pada metafisika dan meninggalkan data empiris, tetapi berdialektika antara pengetahuan yang bersifat transendental dan yang bersifat empiris.
Teori kritis merupakan ideologi kritik, yaitu suatu refleksi-diri untuk membebaskan pengetahuan manusia bila pengetahuan itu jatuh dan membeku pada salah satu kutub, yaitu transendental atau empiris.
Sebelum membahas definisi kritik, perlu diketahui bahwa ilmu pengetahuan, menurut Habermas, dibedakan menjadi tiga kategori dengan tiga macam kepentingan yang mendasarinya. Pertama, kelompok ilmu empiris, adalah ilmu alam yang menggunakan paradigma positivisme, kepentingannya adalah menaklukkan, menemukan hukum-hukum dan mengontrol alam. Kedua, ilmu-ilmu humaniora, yang memiliki kepentingan praktis dan saling memahami, seperti ilmu pengetahuan sosial budaya. Kepentingan ilmu ini bukan untuk mendominasi atau menguasai, juga bukan membebaskan, tetapi memperluas saling pemahaman. Ketiga, ilmu kritis yang dikembangkan melalui refleksi diri, sehinga melalui refleksi diri, kita dapat memahami kondisi-kondisi yang tidak adil dan tidak manusiawi dalam kehidupan. Kepentingannya adalah emansipatoris.
Dari pembagian tersebut, dapat dipahami bahwa kritik berarti refleksi-diri. Menurut Kant, kritik adalah mempertanyakan The conditions of possibilities dari pengetahuan kita. Epistemologi kritik Kant digunakan untuk merefleksikan secara kritis seluruh pengetahuan kita. Wilayah penyelidikannya tidak terbatas hanya pada ilmu pengetahuan, melainkan seluruh pengetahuan dan pengetahuan secara keseluruhan. Kritik, bagi Kant menjadi mahkamah yang mengadili dan merefleksikan secara kritis pengetahuan, sehingga kritis menjadi dasar yang paling mutlak bagi pengetahuan kita.
Epistemologi ini dikritik oleh Hegel. Menurut Hegel, kritis adalah refleksi atau refleksi-diri atas rintangan-rintangan, tekanan-tekanan dan kontradiksi-kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri dari rasio dalam sejarah. Hegel mencoba meradikalisasikan teori kritis Kant yang masih melambung. Hegel melontarkan pertanyaan, apakah kritik pengetahuan yang dilontarkan Kant itu sendiri bukan suatu pengetahuan? kritik pengetahuan yang dirumuskan oleh Kant telah terjebak pada lingkaran setan, karena Kant memposisikan teori kritik pada tempat yang absolut, padahal teori kritik tersebut adalah pengetahuan yang perlu direfleksikan dengan kritis. Artinya teori kritikpun perlu dikritisi. Oleh sebab itu, teori kritis – untuk lolos menjadi pengetahuan—harus bersifat epistemologis dan historis. Menurut Hegel, Kant telah mendirikan mahkamah pengetahuan tanpa memikirkan asal-usul mahkamah itu sendiri.
Atas dasar kritik Hegel tersebut, Habermas merumuskan teori kritik yang memihak pada emansipatoris. Teori kritik Frankfruter School mempunyai empat karakter. Pertama, teori kritik bersifat historis. Artinya dikembangkan berdasarkan berdasarkan situasi masyarakat kongret. Kedua, Teori kritis juga bersifat kritis terhadap dirinya sendiri. Ketiga, memiliki kecurigaan kritis terhadap masyarakat aktual. Keempat, teori kritis merupakan teori bermaksud praktis.
Habermas ; Kritik Atas Rasionalisasi
Habermas mengkritik rasio untuk menyingkap kepentingan ilmu pengetahuan. Karena melalui rasio, ilmu pengetahuan menjustifikasi diri bahwa dirinya netral, bebas dari kepentingan. Rasiolah yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan netral, rasio atau ilmu pengetahuan ilmiah selalu mengatakan dirinya paling obyektif.
Saat ini, hampir setiap negara mengarahkan proses modernisasi kearah rasionalisasi atau apa yang disebut “kebudayaan ilmu modern”. Habermas mempersoalkan kembali makna rasio yang lazim dianut dalam masyarakat, yakni rasio berfungsi sebagai alat netral untuk mengoprasionalkan sebuah sistem. Adalah yang rasioanal itu operasional, efektif, efisien, dapat diotomatisasikan, penguasaan lewat tombol kontrol. Penilaian moral, agama dan hasrat pembebasan dianggap mengusir kenetralan rasio. Jika ingin mendapatkan teori yang rasional dan netral, maka tinggalkan prasangka pribadi, tinggalkan penilaian moral, tinggalkan kebudayaan, tinggalkan ideologi agama, tinggalkan rasialisme, karena semua itu dapat mempengaruhi kenetralan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus bebas nilai, bebas kepentingan, harus berdiri sendiri, harus melepaskan rasa kasihan, harus melepaskan apa yang ada disekirtarnya. Rasio adalah murni menggunakan mekanisme yang masuk akal.
Pandangan seperti ini dikritik oleh Habermas. Karena menyebabkan teori terlepas dari praktis yang disebabkan oleh tuntutan netralisme tersebut. Peran teori dalam membimbing tingkah laku seseorang sudah hilang. Dalam filsafat Yunani, seorang filsuf membangun teori untuk menjadi tuntunan hidup. Misalnya socrtes, menciptakan teori kebenaran obyektif. Teori ini diciptakan agar menusia tidak bingung dengan subyektifisme yang selalu digemakan oleh kaum sofis. Sehingga teori mempunyai peran emansipasi pada tingkat praktis. Tetapi saat ini teori diterbangkan tinggi untuk meninggalkan praksis, demi menggapai klaim netral. Pandangan –bahwa rasional adalah ilmiah , teori harus independen, ilmu pengetahuan harus netral—inilah yang dikritik oleh Habermas.
Menurut Habermas, teori harus berpihak pada emansipasi yang bisa menuntun kehidupan praksis yang nantinya akan menghasilkan transformasi sosial. Yang dimaksud emansipasi adalah bukan semata-mata pembebasan dari kendala-kendala sosial, seperi : perbudakan, kolonialisme, kekuasaan yang menindas. Tetapi juga “ketidaktahuan”. Seseorang dapat dikatakan mengalami emansipasi jika dia beralih dari situasi “ketidaktahuan” menjadi “tahu”. Pengetahuan dan ketidaktahuan diukur menurut skala penilaian yang ada pada saat itu.
Menurut Habermas, dogmatisme adalah bentuk pengetahuan yang mapan, pada situasi sosial tertentu cenderung berkuasa menjadi juru tafsir satu-satunya yang benar atas realitas. Bentuk-bentuk pengetahuan itu lalu juga menyingkirkan tafsir-tafsir yang bertentangan, bahkan dianggap sebagai “Bid’ah”. Sistem pengetahuan absolut dan totaliter adalah dogmatisme. Seorang yang memegang teguh sistem tertutup ini bisa dikatakan “tahu”, tetapi dalam wawasan sistem yang berlaku itu. Apakah orang ini tahu kebenaran yang lebih luas dari pada sistem itu? dalam kata lain, orang tersebut mengalami ketidaktahuan justru karena kelekatannya pada sistem pengetahuan itu. Teori dan ilmu pengetahuan harus memberikan kepentingan memberi emansipasi kepada masyarakat, yaitu proses pencerahan atas “ketidaktahuan” akibat dogmatisme itu.
Dewasa ini, ilmu-ilmu positif dan teknologi diterapkan dan diperluas ke dalam berbagai bidang kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat. Kondisi semacam ini menyebabkan hubungan teori dengan praksis semakin meregang disebabkan karena mekanisme teknologi yang tidak perduli dengan emansipasi. Kegiatan-kegiatan prosdktif masyarakat dalam industri, teknologi, ilmu pengetahuan dan administrasi menjadi terkait dan saling menopang mengarah pada penaklukan alam atau “kontrol teknis atas alam”. Semua ini menyebabkan praksis dimengerti sebagai penerapan-penerapan teknik-teknik yang diarahkan oleh rasio yang sekarang terwujud dalam ilmu pengetahuan itu, sehingga lama-kelamaan potensi sosial rasio, dalam ilmu pengetahuan direduksi ke kekuatan-kekuatan kontrol teknis.
Hal itu akan menyingkirkan potensi sosial ilmu pengetahuan untuk menghasilkan emansipasi sosial. Ilmu pengetahuan yang semula membantu mengarahkan proses perkembangan hidup manusia menjadi otonomi dan tanggungjawabnya lama-kelamaan menyibukan diri dengan manipulasi teknis atas proses-proses alamiah. Rasio tidak lagi dipahami sebagai kemampuan kognitif untuk memanipulasi dan mengontrol alam. Dengan demikian pengertian “keputusan” yang dulunya dipertimbangkan yang matang sebagai perwujudan emansipasi sosial saat ini semakin menjadi otomatisasi dengan “tekan tombol”, mesin sebagai otomatisasi keputusan sedangkan pertimbangan etis disingkirkan.
Dalam kehidupan kita, “dogmatisme” selalu dipertentangkan dengan “rasio”, karena dogmatisme adalah prasangka-prasangka yang membuat pikiran menjadi rancu yang menyelubungi pikiran sejak masa kanak-kanak. Prasangka adalah sebuah kekeliruan atau kesesatan yang dianut oleh sebuah zaman dan tertanam dalam institusi-institusi sebuah masyarakat yang sesat. Sedangkan rasio bukanlah opini atau prasangka, melainkan pengertian yang dihasilkan dengan pengalaman dan belajar atau riset. Sedangkan setiap orang yang melakukan riset harus melepaskan penilaian ideologis, penilaian etnis, kepentingan ideologis, kepentingan agama dan kepentingan emansipatori. Bersamaan dengan itu, kepentingan, kecenderungan, spontanitas harapan, tanggapan terhadap penderitaan dan penindasan, hasrat untuk meraih otonomi yang dewasa, kehendak untuk emansipasi dan kebahagiaan untuk menemukan diri-semua itu disingkirkan dari riset/rasio dan dituduh sebagai faktor subyektif. Teori yang merefleksikan agama, moral, budaya dianggap dogmatis. Situasi semacam ini, disebut Habermas dengan pengasingan rasio dari kehidupan.
Pertanyaannya, apakah rasio yang sudah dipisahkan dari praksis itu benar-benar rasio yang netral? Justru menempatkan rasio pada tempat yang netral adalah kepentingan besar yang terselubung untuk membenarkan kontrol-kontrol teknis atas alam. Rasio –yang diasingkan ini—memihak pada kepentingan teknis untuk mengontrol, seperti efisiensi, kegunaan dan lain sebagainya. Rasio bila ditopang menjadi mekanisme-mekanisme mesin, justru menjadi “dogmatisme ilmiah” karena rasio ini anti terhadap dialog dengan kepentingan-kepentingan individu, bahkan jika sudah menjadi alat paten, sang pencipta mesinpun tidak bisa berdialog dengan mesin. Bahkan sang pincipta mesin harus mengikuti aturan-aturan mesin yang dia ciptakan sendiri. Sehingga “rasio” telah meninggalkan kepentingan emansipasi, moral, dan berpindah menuju kepentingan teknis.
Saat ini orang beranggapan bahwa dengan rasio teknologis, menusia mendapatkan kemudahan, kemerdekaan, serta mempunyai kekuatan untuk mendongkrak mitos-mitos tradisional yang menteror manusia. Akan tetapi ternyata rasio teknologis menjadi juru tafsir satu-satunya (mendominasi) seluruh fenomina sosial –tidak hanya alam—sehingga dia menjadi mitos dan ideologi baru yang total dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi.
Rasionalitas yang dibangun oleh kaum positivisme akhirnya memunculkan tragedi besar, karena mendewakan rasionalitasnya yang semula dianggap mampu memberikan kebebasan, dewasa ini justru terperangkap dalam jaringan birokrasi yang kehilangan makna serta aspirasinya sebagai mahkluk yang bermartabat.
Pertanyaan yang paling akhir adalah ; rasionalitas semacam apakah yang bisa menyebabkan transformasi sosial, kultural dan personal? Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu diulas pembagian rasionalitas. Menurut Habermas, rasionalitas terbagi menjadi tiga. Pertama, Rasionalitas Tindakan. Yaitu rasionalitas teknis yang mengacu pada perhitungan yang masuk akal untuk mencapai sasaran berdasarkan pilihan yang masuk akal dengan sarana teknis, teknologis, mekanis dan birokratis. Kedua, Rasionalitas Tujuan. Adalah rasio yang hanya mementingkan tujuan, dan tidak mengindahkan nilai-nilai yang dihayati sebagai isi kesadaran. Ketiga, Rasionalitas Nilai. Cirinya adalah orang yang bertindak dengan rasio ini mementingkan komitmen rasionalnya terhadap nilai yang dihayatinya secara pribadi. Setiap “rasionalitas” di atas berpotensi untuk menyebabkan perubahan. Akan tetapi rasio yang manakah yang melahirkan perubahan tanpa penindasan, represi dan tanpa merampas kemerdekaan? Adalah Rasio yang terakhir, karena rasio ini tidak menyingkirkan nilai etis serta moral dan dimungkinkan adanya komunikasi yang seimbang tanpa ada pemaksaan dan dominasi.
Habermas : Kritik-Ideologi.
Menurut Habermas, ideologi adalah manipulasi yang berbentuk tidak sadar. Ideologi selalu ingin mendominasi dan menang, ingin menunjukan bahwa dirinya yang terhebat. Oleh sebab itu, Luis Altusser mengatakan bahwa ideologi dapat dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan, bahkan Altusser menyetarakan –cara pelanggengan kekuasaan dengan—”ideologi” dengan cara “represif”. Gramci berpendapat bahwa ideologi dapat digunakan sebagai alat untuk menghegemoni individu-individu yang tidak sadar.
Menurut Habermas, ideologi amat sarat dengan kepentingan. Oleh sebab itu, Habermas membagi kepentingan menjadi “Kepentingan Kutub Empiris” dan “Kepentingan Kutub Transendental”. Yang pertama berkaitan dengan kondisi sosio-historis manusia sebagai spesies yang berkehendak. Sedangkan yang kedua berkaitan dengan pengetahuannya yang bersifat normatif ideal. Kritik Ideologi bekerja dalam dua tataran ini. Yaitu untuk mencari pertautan keduanya manakala pemikiran manusia membeku pada salah satu kutub kepentingan tersebut.
Jika ideologi adalah sebuah cara pandang yang menghegemoni dan mengakar pada jiwa seseorang, maka dengan kritik–refleksi diri, individu akan memahami posisi diri sendiri, individu juga akan menyadari kepentingan untuk membebaskan diri dari kungkungan ideologi. Individu memiliki kemampuan untuk mencapai otonomi dan tanggung jawab atau pendewasaan.
Masyarakat Komunikatif Sebagai Jalan Keluar.
Singkat kata, Habermas menawarkan sebuah masyarakat tanpa dominasi, paksaan dan bebas penguasaan. Dengan apa? Dengan komunikasi. Yaitu “komunikasi bebas penguasaan”. Suatu komunikasi yang tidak terdistorsi secara ideologis. Bagaimana cara mengetahui bahwa suatu komunikasi bersifat murni dan bebas dari dominasi ideologi? yaitu komunikasi yang seimbang, setiap partisipan memiliki kesempatan yang sama untuk melibatkan diri dalam perbincangan dan mengemukakan persetujuan-persetujuan, penolakan-penolakan, keterangan-keterangan, penafsiran-penafsiran, tetapi dengan tulus mengungkapkan perasaan-perasaan dengan sikap-sikap mereka tanpa pembatasan dari suatu kekuasaan. Komunikasi yang menghasilkan dengan konsensus-konsensus rasional yang dicapai oleh subyek-subyek yang berkompeten –ijma’–. Proses dialog itu ditempatkan dalam rangka proses menjadi dialog. Sebagai suatu arah umum, dialog itu mengerah pada suatu kebenaran sebagai konsensus. Lalu bagaimana mengetahui bahwa konsensus itu benar? Nabi SAW pernah bersabda ”Laa tajtami’uu ummati ‘ala al-khoto’, umatku tidak akan bersepakat dalam kesalahan
















BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
            Analisis-analisis epistemologis Habermas merupakan kritikan yang tajam terhadap scientisme dan positivisme yang memberhalakan sains dan teknologi modern sebagai kebenaran yang universal yang bebas kepentingan. Analisis-analisis Habermas masih tetap relevan untuk masyarakat Indonesia yang masih terus mencari orientasi bagi strategi modernitasnya. Pesannya amat jelas ”waspadalah terhadap positivisme dan ilmu-ilmu sosial dan berbagai bentuk social enginering yang tidak melibatkan public dalam mengambil keputusan yang menyangkut kehidupan bersama,karena sains dan teknologi tidak netral dari kepentingan-kepentingan.” Tujuan yang mau dicapai oleh Habermas adalah merumuskan syarat-syarat nyata untuk mewujudkan masyarakat yang bebas dari penindasan. Karena itu. Habermas mencoba mengembangkan teori kritis masyarakat.
            Ideologi yang difahami Habermas sebagai kepercayaan, norma atau nilai yang dianut an dikenal sebagai weltanschauung ( world view ), sekaligus merupakan sudut pandang tertentu dalam memandang realitas sosial.
            Segala bentuk ideologi dari kesadaran tidak akan diteliti apakah ia benar ,memuaskan,buruk dan sebagainya, kritik ideologis mempermasalahkan apakah sesuatu hal itu merupakan kesadaran palsu,khayalan atau yang lainnya.
B. Saran dan krtitikan.
           



                                                                                                  


DAFTAR PUSTAKA

1.      Axel honneth,Teori Kritis.dalam Anthony Giddens and Jnoathan H.Tunner,Social Theory Today Panduan Sistematis Tradisi dan Tren Terdepan teori Sosial,Penerjemah Yudi Santoso.Pustaka Pelajar.2008.Hal.606
2.   Bernard Delfgauw.Filsafat Abad 20.Penerjemah.Soejono Suemarno.Pen PT Tiara  Wacana Yogyakarta.2001.Hal.163
3.   Sindung Tjahyadi.Teori Kritis Jurgem Habermas:Asumsi-Asumsi Dasar Menuju metodolgi Kritik Sosial,Dalam Junal Filsafat.Agustus 2003.Jilid 34.nomor 2 Hal.181
4.  Ideologi dipahami Habermas sebagai, norma atau nilai yang dianut dan dikenal sebagai weltanschauung ( world view ),sekaligus sebagai pandangan tertentu dalam memandang realitas social.Lihat Muhammad Muslih





[1].Axel honneth,Teori Kritis.dalam Anthony Giddens and Jnoathan H.Tunner,Social Theory Today Panduan Sistematis Tradisi dan Tren Terdepan teori Sosial,Penerjemah Yudi Santoso.Pustaka Pelajar.2008.Hal.606
[2].Ibid.,
[3].Ibid.,Hal.9
[4].Bernard Delfgauw.Filsafat Abad 20.Penerjemah.Soejono Suemarno.Pen PT Tiara Wacana Yogyakarta.2001.Hal.163
[5].Sindung Tjahyadi.Teori Kritis Jurgem Habermas:Asumsi-Asumsi Dasar Menuju metodolgi Kritik Sosial,Dalam Junal Filsafat.Agustus 2003.Jilid 34.nomor 2 Hal.181  
[6].Habermas.Ilamu Dan Teknologi Sebagai Ideologi.Terjemahan Hasan Basri.Jakarta.LP3ES.1990.Hal.43.dikutip dari Muhammad Muslih.Ibid.,Hal.167
[7].Habermas.1990.Hal.133-141
[8].Ideologi dipahami Habermas sebagai, norma atau nilai yang dianut dan dikenal sebagai weltanschauung ( world view ),sekaligus sebagai pandangan tertentu dalam memandang realitas social.Lihat Muhammad Muslih.Ibid.,Hal.173 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar