Selasa, 09 April 2013

EKSISTENSI LEMBAGA FORMIL DAN NON FORMIL PEND. ISLAM (SURAU, MDA, TPQ, MIS, MTS, MA, PESANTREN)


OLEH : ISMAIL

Abstrak:
“Pilihanmu dan pilihanku adalah apakah kita akan mempergelap dunia kita ini ataukah kita akan menyorong sedikit matahari agar bisa memantulkan cahaya nilai-nilai ilahi ke bumi sehingga kita bisa hidup dengan harmoni dan berdampingan menciptakan surga dunia dan akherat bagi kita, khasanah fi dunya wal akherah”(modified by ODO, 2012)
Kata Kunci: Pandidikan Formil,Non Formil, Pandidikan Islam,Pesantren

I.Pendahuluan

Dalam perspektif historis, Indonesia merupakan sebuah negeri muslim yang unik, letaknya sangat jauh dari pusat lahimya Islam (Mekkah). Meskipun Islam baru masuk ke Indonesia pada abad ke tujuh, dunia internasional mengakui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Hal ini merupakan salah satu indikator keberhasilan Pendidikan Agama Islam di Indonesia.
Lembaga Pendidikan Agama Islam pertama didirikan di Indonesia adalah dalam bentuk pesantren[1]. Dengan karaktemya yang khas "religius oriented", pesantren telah mampu meletakkan dasar-dasar pendidikan keagamaan yang kuat. Para santri tidak hanya dibekali pemahaman tentang ajaran Islam tetapi juga kemampuan untuk menyebarkan dan mempertahankan Islam.
Masuknya model pendidikan sekolah membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi umat Islam saat itu, yang mengarah pada lahirnya dikotomi ilmu agama (Islam) dan ilmu sekuler (ilmu umum dan ilmu sekuler Kristen). Dualisme model pendidikan yang konfrontatif tersebut telah mengilhami munculnya gerakan reformasi dalam pendidikan pada awal abad dua puluh. Gerakan reformasi tersebut bertujuan mengakomodasi sistem pendidikan sekolah ke dalam lingkungan pesantren[2]. Corak model pendidikan ini dengan cepat menyebar tidak hanya di pelosok pulau Jawa tetapi juga di luar pulau Jawa. Dari situlah embrio madrasah lahir.  Bagai mana eksistensinya lembaga pendidikan dibawah Kemenag sa’at ini mari kita lihat juklak makalah ini bersama-sama.

II.Pembahasan

Tidak dapat dipungkiri bahwa  kehadiran Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah dan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan Propinsi berpengaruh terhadap pendidikan dari sisi pengelolaan sebagaimana dikemukakan oleh Yusuf Hadi Miarso  sebagai berikut :
Pemberlakuan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan Propinsi sebagai daerah otonom berpengaruh besar terhadap sektor pendidikan. Hal ini terlihat dari sisi pengelolaan pendidikan diarahkan pada manajemen berbasais sekolah. Konsep kebijakan ini memberikan otonomi lebih besar kepada warga sekolah ( guru, kepala sekolah, orang tua dan masyarakat ) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.Kebijakan ini diharapkan dapat diterapkan di sekolah  termasuk Madrasah di Indonesia dengan memberikan peran kepada masyarakat untuk memberikan pandangan – pandangannya terhadap eksistensi lembaga pendidikan agar dapat meningkatkan kualitas lembaganya[3].
Sekolah, termasuk Madrasah sebagai salah satu bagian dari pendidikan di Indonesia merupakan suatu sistem, karena ia terdiri atas komponen – komponen yang mempunyai fungsi yang berlainan, tetapi semuanya tergabung dalam suatu kesatuan yang utuh dan saling berkaitan dan berinteraksi. Komponen sekolah meliputi guru, siswa, karyawan, gedung, kurikulum, perabot, buku, dana dan prasarana. Sekolah/Madrasah sendiri, sebagai suatu sistem, merupakan komponen dari suatu sistem yang lebih besar yaitu masyarakat. Komponen yang lain meliputi diantaranya, keluarga, pasar, pemerintahan setempat, tempat ibadah dan sebagainya. Orang – orang yang ada dalam masyarakat tidak hanya guru, siswa dan karyawan sekolah, melainkan juga orang tua siswa, pimpinan masyarakat dan masyarakat secara umum. Interaksi tersebut digambarkan oleh Yusuf Hadi Miarso sebagai berikut :
Karena sekolah merupakan komponen dalam sistem masyarakat, maka sekolah harus terkait dan berinteraksi dengan komponen lain agar masyarakat itu dapat berfungsi dengan baik dan dapat mencapai tujuan yang efektif. Masyarakat yang tidak mempunyai komponen  berupa Sekolah merupakan masyarakat yang ketinggalan zaman, dan tidak akan dapat berkembang sebagaimana mestinya. Demikian juga kalau sekolah itu tidak berinteraksi dengan komponen – komponen lain dalam masyarakat dan sebaliknya tidak menerima masukan dari masyarakat, berupa pandangan – pandangan mereka tentang sekolah, maka sekolah itu sebagai suatu komponen, tidak akan dapat berfungsi dengan baik, dan akibatnya masyarakat yang bersangkutan juga tidak dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan[4].
Pendapat di atas menurut Yusuf Hadi Miarso dapat dianalogikan seperti sebuah mobil sebagai suatu sistem. Komponen mobil tersebut meliputi, kerangka badan, mesin, kemudi, rem, roda termasuk juga ban. Mobil tanpa mesin atau tanpa ban tentu saja tidak dapat berfungsi. Mobil itu sendiri merupakan bagian atau komponen sistem transportasi, meliputi : jalan, rambu– rambu lalu lintas, pengemudi, bahan bakar dan lain – lain. Meskipun mobil sebagai suatu sistem mempunyai komponen lengkap dan dapat berfungsi, tetapi kalau tidak ada pengemudi dan jalan, maka mobil tersebut sebagai komponen dari sistem transportasi tidak dapat berfungsi dan bahkan tidak ada manfaatnya.
Jelaslah bahwa agar sekolah itu berfungsi dan berperan maka sekolah itu  harus bertinteraksi dengan lingkungan masyarakat setempat dengan meminta pandangan – pandangan mereka terhadap eksistensi lembaga sekolah tersebut, agar memiliki kemajuan yang berarti dimasa mendatang. Dalam konteks lain dapatlah dinyatakan bahwa, keterlibatan masyarakat dalam memberikan pandangan – pandangan mereka dalam penyelenggaraan kegiatan Sekolah/Madrasah diperlukan agar  lembaga sekolah dapat berfungsi dengan baik, sebagaimana dikemukakan oleh Yusuf Hadi Miarso sebagai berikut :
Pandangan – pandangan masyarakat tentang sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan ditujukan untuk : (1) terbentuknya kesadaran masyarakat tentang adanya tanggung jawab bersama dalam pendidikan,(2) terselenggaranya kerjasama yang saling menguntungkan (saling memberi dan menerima) antara semua pihak yang berkepentingan dengan pendidikan,(3) meningkatnya kinerja sekolah yang berarti pula meningkatnya produktifitas, kesempatan memperoleh pendidikian, keserasian proses dan hasil pendidikan sesuai dengan kondisi anak didik dan  lingkungan, serta komitmen dari para pelaksana pendidikan[5].
Upaya yang perlu dilakukan dalam rangka menumbuh kembangkan kesadaran masyarakat dalam memberikan pandangan – pandangannya terhadap eksistensi sekolah adalah menumbuhkan komunikasi yang efektif antara sekolah dan masyarakat. Menyediakan informasi saja, misalnya berupa pengumuman  belum merupakan komunikasi yang efektif. Komunikasi yang efektif di tandai dengan adanya tindakan kerjasama yang serasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka untuk mewujudkan dan mengembangkan  partisipasi masyarakat berupa pandangannya tentang eksistensi sekolah/Madrasah  dengan memberikan kesempatan yang seluas – luasnya kepada mereka (masyarakat) dalam memberikan pandangan – pandangan tentang eksistensi sebuah lembaga pendidikan dari aspek kepribadian guru, kegiatan belajar mengajar  dan lain – lain.

III.Eksistensi Pendidikan Non Formal Dilematis

Minim political will dan Dukungan Pemerintah
Eksistensi dunia pendidikan non formal (PNF) belakangan waktu dilematis. Pasalnya, lembaga pendidikan ini acap kali dikonotasikan sebagai wadah pendidikan para remaja putusan sekolah formal. Lain halnya dengan minimnya political will dan dukungan pemerintah pusat dan daerah dalam pembinaannya, mengakibatkan kondisinya yang mampu menciptakan life skill para keluarannya masih sering tidak dapat ditampung di berbagai perusahaan.
Demikian dikatakan MK Baginta Sembiring, ketua Himpunan Seluruh Pendidik dan Penguji Indonesia-Pendidikan Non formal (HISPPI-PNF) Sumut, Minggu (25/11), seusai acara pelantikan kepengurusan HIPPSI-PNF Labuhanbatu, di Gedung PKK Labuhanbatu di Rantauprapat.
Kata Sembiring, political will dari pihak eksekutif dan legislatif dinilai masih belum optimal dalam memberi perhatian pengembangan lembaga itu. Padahal, dihadapkan pada kompleksnya situasi pendidikan belakangan waktu, sebenarnya, lembaga pendidikan non formal yang kini banyak muncul dapat dijadikan sebagai alternatif solusi permasalahan di dunia pendidikan. Hal itu didasari, lembaga PNF memiliki sifat aplikatif dan biaya yang relatif lebih murah. serta, banyak lembaga pendidikan non formal terbukti mampu menghasilkan lulusan yang sama kualitasnya bahkan lebih handal dari pada lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal dalam menghadapi persaingan, terlebih lagi fleksibelitas waktu yang dibutuhkan, lembaga pendidikan non formal juga berpeluang untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai.
Padahal, ujarnya persentase lulusan pendidikan formal yang ada masih banyak yang tidak sanggup melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sementara era globalisasi terus membutuhkan peningkatan kualitas generasi yang trampil dan siap pakai. “Berbagai tempat yang menerima lowongan pekerjaan sekarang memiliki standart dalam menerima calon pekerja yang trampil dan berwawasan luas. Sedangkan, di Sumut tidak sedikit jumlah keluaran pendidikan formal terpaksa kandas melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, disebabkan beberpa faktor, salah satunya masalah pendanaan,” terangnya. Pemerintah, lanjutnya, masih separuh hati dalam membina lembaga PNF yang merupakan jalur alternatif penyedia tenaga kerja yang trampil, termasuk dalam memberi kemudahan pengurusan ijin pendirian lembaga PNF. “Mental birokrasi masih perlu dikritisi dalam hal memberi perhatian yang lebih serius,” paparnya.
Memang, akunya, standart kurikulum PNF masih perlu terus ditingkatkan, terlebih lagi dalam hal standart tenaga pendidik dan lembaga PNF yang sejatinya mampu menelurkan tenaga-tenaga terampil. “Tahun 2008, pihak Badan Standart Nasional Pendidikan Non formal (BSN-PNF) di Jakarta akan mengeluarkan dan terus mengkaji ataupun menganalisa muatan kurikulum PNF yang ideal untuk penerapan dan pedomannya di berbagai lembaga PNF yang ada. Dilain hal, bagi lembaga dan tenaga PNF, juga pihak Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) juga akan mengeluarkan standart mutu sebagai ukuran pendirian lembaga PNF se-Indonesia,” bebernya.
PNF yang di bawah koordinasi dengan pihak Diklusemas dan dinas tenaga kerja masing-masing daerah, sejatinya kedepan dapat lebih sinergis dalam menyediakana tenaga-tenaga yang terampil dan menyalurkannya ke berbagai institusi pencari kerja.
Pada kesempatan itu, dilantik kepengurusan HIPPSI-PNF Labuhanbatu, sebagai ketua Amin Prasetyo, sekretaris Razid Yuliwan. Serta, pada kesempatan yang sama, dilantik pula kepengurusan Dewan pengurus cabang Himpunan Penyelenggara Pelatihan dan Kursus Indonesia (DPC HPPKI) Labuhanbatu, sebagai ketua Tatang Hidayat Pohan, sekretaris Hasymi Prihatin Siregar di lengkapi dengan beberapa biro.
Salah satu pendidikan keagamaan yang berkembang di masyarakat adalah Madrasah Diniyah. Pendidikan ini merupakan evolusi dari sistem belajar yang dilaksanakan di pesantren salafiyyah. Dengan berkembangnya zaman sehingga pendidikan Madrasah Diniyah mengalami perubahan yaitu dengan menggunakan sistem klasikal yang di dalamnya tidak hanya sekedar membaca al-Qur'an dan ilmu dasar agama, tetapi meliputi ilmu-ilmu ke-Islaman lainnya. Dalam PP No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan pada pasal 15 menyebutkan bahwa pendidikan diniyah formal menyelenggarakan pendidikan ilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan formal atau informal dapat dihargai sederajat dengan hasil pendidikan formal keagamaan atau umum atau kejuruan setelah lulus ujian yang diselenggarakan satuan pendidikan yang terakreditasi yang ditunjukkan oleh pemerintah. 
Berpijak dari latar belakang tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kemungkinan posisi pendidikan Madrasah Diniyah sebelum PP No. 55 tahun 2007, kemungkinan posisi Madrasah Diniyah menurut PP No. 55 tahun 2007 dan kemungkinan implikasi PP No. 55 tahun 2007 terhadap perkembangan Madrasah Diniyah. 
Penelitian ini termasuk penelitian pustaka (Library Research), yang menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan metode editing data, organizing data dan dalam menganalisis penulis menggunakan content analysis dengan menggunakan metode berfikir induktif, deduktif dalam pemikiran kesimpulannya. 
Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa Madrasah Diniyah non formal memperbaharui mutu pendidikannya agar bisa menjadi seperti sekolah-sekolah formal pada umumnya. Dalam ujian Madrasah Diniyah formal wajib memasukkan pelajaran umum yang sekiranya dapat dijadikan tolak ukur sekolah pada umumnya agar bisa melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Dengan hanya menggunakan ijazah pendidikan madrasah formal dapat melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. 
A.   Surau
Pengertian Surau adalah tempat (rumah) umat Islam melakukan ibadatnya (mengerjakan salat, mengaji, dsb); langgar[6], yang lebih lazim disebut sebagai tempat ibadah. Namun pada masa pra kemerdekaan surau atau langgar ini merupakan tempat menuntut ilmu para santri dengan cara tersembunyi.
B.   MDA
Kata madrasah dalam bahasa Arab berarti tempat atau wahana untuk mengenyam proses pembelajaran[7]. Dalam bahasa Indonesia madrasah disebut dengan sekolah yang berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pengajaran[8].
Dari pengertian di atas maka jelaslah bahwa madrasah adalah wadah atau tempat belajar ilmu-imu keislaman dan ilmu pengetahuan keahlian lainnya yang berkembang pada zamannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah madrasah bersumber dari Islam itu sendiri. Namun pada akhir-akhir ini MDA sudah menjadi tempat pengembang ilmu agama bagi anak-anak yang masih berada ditingkat Sekolah Dasar yang bersifat pemula.
C.   TPQ
TPQ adalah taman pendidikan qur’an keberadannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat baik kalangan menengah kebawah yang mereka hanya mampu membiayai pendidikan ini sekedarnya saja. Keberadaanya dimata pemerintah sampai sekarang masih eksis namun hanya ligitimasi hukumnya tidak ada.
IV.Eksistensi pendidikan yang Formil
A.   MIS,MTS,MAN
Tiga lembaga pendidikan ini sama-sam berada dibawah naungan Kemenag, Semuanya mempelajari pendidikan islam,namun berbeda pada usia pelaksanaannya. Munculnya Madrasah mulai didirikan dan berkembang pada abad ke 5 H atau abad ke-10 atau ke-11 M. pada masa itu ajaran agama Islam telah berkembang secara luas dalam berbagai macam bidang ilmu pengetahuan, dengan berbagai macam mazhab atau pemikirannya. Pembagian bidang ilmu pengetahuan tersebut bukan saja meliputi ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an dan hadis, seperti ilmu-ilmu al-Qur’an, hadits, fiqh, ilmu kalam, maupun ilmu tasawwuf tetapi juga bidang-bidang filsafat, astronomi, kedokteran, matematika dan berbagai bidang ilmu-ilmu alam dan kemasyarakatan[9].
1.Sistem Pendidikan dan Pengajaran Di Madrasah
Sistem pengajaran yang digunakan di madrasah adalah perpaduan antara sistem pada pondok pesantren dengan sistem yang berlaku di sekolah-sekolah modern. Penilaian untuk kenaikan tingkat ditentukan dengan penguasaan terhadap sejumlah bidang pengajaran.tertentu.
Pada perkembangan selanjutnya sistem pondok mulai ditinggal, dan berdirilah madrasah-madrasah yang mengikuti sistem yang sama dengan sekolah-sekolah modern. Namun demikian pada tahap awal madrasah tersebut masih bersifatdiniyah, di mana mata pelajaran hanya agama dengan penggunaan kitab-kitab bahasa arab.
Sebagai pengaruh dari ide-ide pembaharuan yang berkembang di dunia Islam dan kebangkitan bangsa Indonesia, sedikit demi sedikit pelajaran umum masuk ke dalam kurikulum madrasah. Buku-buku pelajaran agama mulai disusun khusus sesuai dengan tingkatan madrasah, sebagai halnya buku-buku pengetahuan umum yang belaku di sekolah-sekolah umum. Bahkan kemudian timbullah madrasah-madrasah yang mengikuti sistem perjenjangan dalam bentuk sekolah-sekolah modern, seperti Madrasah Ibtidaiyah untuk tingkat dasar, Madrasah Tsanawiyah untuk tingkat menengah pertama, dan adapula Kuliah Muallimin(pendidikan guru) yang disebut normal Islam[10].
Pada tahap selanjutnya penyesuaian tersebut semakin meningkat dan terpadu dengan baik sehingga sukar untuk dipisahkan dan dibedakan antara keduanya, kecuali madrasah yang langsung ditulis predikat Islamiyah. Kurikulum madrasah atau sekolah-sekolah agama, mempertahankan agama sebagai mata pelajaran pokok, walaupun dengan persentase yang berbeda. Pada waktu pemerintahan RI dalam hal ini oleh Kementerian Agama mulai mengadakan pembinaan dan pengembangan terhadap sistem pendidikan madrasah. Melalui Kementerian Agama, madrasah perlu menentukan kriteria madrasah. Kriteria yang ditetapkan oleh Menteri Agama untuk madrasah-madrasah yang berada di dalam wewenangnya adalah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok, paling sedikit enam jam seminggu.
Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan  bahwa pada dasarnya sistem pendidikan dan pengajaran di madrasah merupakan perpaduan antara sistem yang berlaku di pondok pesantren dengan sistem yang berlaku di sekolah-sekolah modern.
2. Pembinaan dan Pengembangan Madrasah
Sejak timbulnya madrasah dan menjadikannya sebagai lembaga pendidikan yang mandiri, tanpa bimbingan dan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka, madrasah dan pesantren mulai mendapatkan perhatian dan pembinaan dari pemerintah RI. UUD 1945 mengamanatkan, agar mengusahakan terbentuknya suatu sistem pendidikan dan pengajaran yang bersifat nasional yang diatur undang-undang[11].
Untuk melaksanakan amanat tersebut, BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) sebagai Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat pada masa itu, merumuskan pokok-pokok usaha pendidikan dan pengajaran yang terdiri dari 10 pasal. Pada pasal 5 (b) sebagaimana dikutip oleh Hasbullah, menetapkan bahwa “madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah suatu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat akar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, hendaknya juga mendapat perhatian dan bantuan materil dari pemerintah[12].
Dalam hal ini wewenang pembinaan dan pemberian bantuan dan tuntunan tersebut diserahkan kepada Kementerian Agama. Tujuan pembinaan dan bantuan adalah agar madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam berkembang secara terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional, sebagaimana yang dikehendaki oleh UUD 1945.
Usaha integrasi tersebut ternyata tidak berjalan mudah. Sikap mandiri dan sikap non-kompromi dengan pemerintah pada masa sebelumnya, masih tetap berakar dalam masyarakat. Oleh karena itu pembinaan dan pengembangan madrasah tersebut dilaksanakan dengan penuh kebijaksanaan dan dilaksanakan secara bertahap.
Selanjutnya dalam rangka meningkatkan madrasah sesuai dengan sasaran BPKNIP agar madrasah dapat bantuan materil dan bimbingan dari pemerintah, maka kementerian agama mengeluarkan peraturan Menteri Agama No. I tahun 1952. Menurut ketentuan ini, yang dinamakan madrasah ialah “tempat pendidikan yang telah diatur sebagai sekolah dan memuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam menjadi pokok pengajarannya”[13].
B.   PESANTREN
Lahir pada abad 20 dengan munculnya Madrasah Manba'ul Ulum Kerajaan Surakarta tahun 1905 dan Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909[14]. Madrasah berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan sistem pendidikan Islam yang telah ada. Pembaharuan tersebut, menurut Karl Sternbrink (1986), meliputi tiga hal, yaitu:
1.    Usaha menyempumakan sistem pendidikan pesantren,
2.    Penyesuaian dengan sistem pendidikan Barat, dan
3.    Upaya menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pesantren dan sistem pendidikan Barat.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam kini ditempatkan sebagai pendidikan sekolah dalam sistem pendidikan nasional. Munculnya SKB tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri dalam Negeri) menandakan bahwa eksistensi madrasah sudah cukup kuat beriringan dengan sekolah umum. Di dalam salah satu diktum pertimbangkan SKB tersebut disebutkan perlunya diambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar lulusan dari madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
1.   Pesantren di Era Modern
Persepsi masyarakat terhadap madrasah di era modern belakangan semakin menjadikan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang unik. Di saat ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, di saat filsafat hidup manusia modern mengalami krisis keagamaan[15].dan di saat perdagangan bebas dunia makin mendekati pintu gerbangnya, keberadaan madrasah tampak makin dibutuhkan orang.
Terlepas dari berbagai problema yang dihadapi, baik yang berasal dari dalam sistem seperti masalah manajemen, kualitas input dan kondisi sarana prasarananya, maupun dari luar sistem seperti persyaratan akreditasi yang kaku dan aturan-aturan lain yang menimbulkan kesan madrasah sebagai 'sapi perah', madrasah yang memiliki karakteristik khas yang tidak dimiliki oleh model pendidikan lainnya itu menjadi salah satu tumpuan harapan bagi manusia modern untuk mengatasi keringnya hati dari nuansa keagamaan dan menghindarkan diri dari fenomena demoralisasi dan dehumanisasi yang semakin merajalela seiring dengan kemajuan peradaban teknologi dan materi. Sebagai jembatan antara model pendidikan pesantren dan model pendidikan sekolah, madrasah menjadi sangat fleksibel diakomodasikan dalam berbagai lingkungan. Di lingkungan pesantren, madrasah bukanlah barang yang asing, karena memang lahirnya madrasah merupakan inovasi model pendidikan pesantren. Dengan kurikulum yang disusun rapi, para santri lebih mudah mengetahui sampai di mana tingkat penguasaan materi yang dipelajari. Dengan metode pengajaran modern yang disertai audio visual aids, kesan kumuh, jorok, ortodok, dan exclusive yang selama itu melekat pada pesantren sedikit demi sedikit terkikis. Masyarakat metropolit makin tidak malu mendatangi dan bahkan memasukkan putra-putrinya ke pesantren dengan model pendidikan madrasah. Baik mereka yang sekedar berniat menempatkan putra-putrinya pada lingkungan yang  baik (agamis) hingga yang benar-benar menguasai ilmu yang dikembangkan di pesantren tersebut, orang makin berebut untuk mendapatkan fasilitas di sana. Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo, misalnya, penuh dengan putra putri konglomerat, sekali daftar tanpa mikir bayar, lengkap sudah fasilitas didapat. Ma'had Al-Zaitun yang berlokasi di daerah Haurgelis (sekitar 30 KM dari pusat kota Indramayu), yang baru berdiri pada tahun 1994, juga telah menjadi incaran masyarakat modern kelas menengah ke atas, bahkan sebagian muridnya berasal dari negara-negara sahabat, seperti Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam. Dengan demikian, model pendidikan madrasah di lingkungan pesantren telah memiliki daya tawar yang cukup tinggi.
Model-model pondok pesantren modern seperti itu, kini telah bermunculan di berbagai daerah. Di Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Kendal misalnya, juga ada pondok pesantren "Darul Amanah" yang mengutamakan penguasaan bahasa asing yakni Bahasa Arab dan Inggris. Pondok Pesantren yang didirikan oleh para alumni Pondok Pesantren Modem Gontor Ponorogo pada tahun 1990 itu telah menampung sekitar 1300 santri (siswa).
Melihat kenyataan seperti itu, tuntutan pengembangan madrasah akhir-akhir ini dirasa cukup tinggi. Pengembangan madrasah di pesantren yang pada umumnya berlokasi di luar kota dirasa tidak cukup memenuhi tuntutan masyarakat. Oleh karena itu banyak model pendidikan madrasah bermunculan di tengah kota, baik di kota kecil maupun di kota-kota metropolitan. Meskipun banyak madrasah yang berkembang di luar lingkungan pesantren, budaya agamanya, moral dan etika agamanya tetap menjadi ciri khas sebuah lembaga pendidikan Islam. Etika pergaulan, perilaku dan performance pakaian para santrinya menjadi daya tarik tersendiri, yang menjanjikan kebahagiaan hidup dunia akhirat sebagaimana tujuan pendidikan Islam[16].
v. Lingkungan Pendidikan Formal
1. Pengertian Lingkungan Pendidikan Formal
Lingkungan pendidikan formal menurut Din Wahyudin adalah suatu satuan (unit) sosial atau lembaga sosial yang secara sengaja dibangun dengan kekhususan tugasnya untuk melaksanakan proses pendidikan. Dalam Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 Bab I Pasal 11 dijelaskan bahwasannya pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstuktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi[17].
2. Bentuk Pendidikan Formal
Pada jalur pendidikan formal pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah serta Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jenjang pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas , Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah Kejuruan dan Madrasah Aliyah Kejuruan. Sedangkan pendidikan tinggi berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas.
3. Tujuan Pendidikan Formal
Pendidikan formal atau sekolah mempunyai tujuan pendidikan sesuai dengan jenjang bentuk dan jenisnya. Tujuan sekolah dapat ditemukan pada kurikulum sekolah yang bersangkutan. Tujuan sekolah umumnya adalah memberikan bekal kemampuan kepada peserta didik dalam mengembangkan kehidupannya[18].
4. Karakteristik Pendidikan Formal
Adapun karakteristik pendidikan formal antara lain (a) lebih menekankan pengembangan intelektual; (b) peserta didik bersifat homogen; (c) isi pendidikan terprogram secara formal/kurikulumnya tertulis; (d) terstruktur, berjenjang dan bersinambungan; (e) waktu pendidikan terjadwal dan relatif lama; (f) cara pelaksanaan pendidikan bersifat formal dan artificial; (g) evaluasi pendidikan dilaksanakan secara sistematis; (h) credential harus ada dan penting[19].
b. Lingkungan Pendidikan Non Formal
1. Pengertian Lingkungan Pendidikan Non Formal
Lingkungan pendidikan non formal merupakan lembaga kemasyarakatan dan/atau kelompok sosial di masyarakat , baik langsung maupun tak langsung, ikut mempunyai peran dan fungsi edukatif[20].. Dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab I Pasal 12 Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang
2. Bentuk Pendidikan Non Formal
Bentuk pendidikan non formal dapat terselenggara secara terstruktur dan berjenjang, dapat pula diselenggarakan secara tidak terstruktur dan berjenjang. Bentuk penyelanggaraan pendidikan non formal secara terstruktur dan berjenjang antara lain kursus komputer, kursus bahasa inggris, kelompok belajar paket A, kelompok belajar paket B yang merupakan lembaga kursus yang mempunyai tingkat kecakapan. Adapun bentuk penyelenggaraan pendidikan yang tidak terstruktur dan tidak berjenjang misalnya informasi, penyuluhan, ceramah melalui media.
3. Tujuan Pendidikan Non Formal
Pendidikan Non Formal mempunyai tujuan pendidikan ditentukan oleh bentuk pendidikan formal itu sendiri sesuai dengan jenisnya. Dalam pendidikan non formal dapat berfungsi sebagai pengganti, pelengkap, penambah, juga pengembang pendidikan formal dan informal[21].
4. Karakteristik Pendidikan Non Formal
Menurut Wahyudin karakteristik pendidikan formal antara lain :
·         lebih menekankan pada pengembangan ketrampilan praktis;
·         peserta didiknya bersifat heterogen;
·         isi pendidikan ada yang terprogram secara tertulis ada pula yang tidak terprogram secara tertulis;
·         dapat terstruktur, berjenjang, dan bersinambungan dan dapat pula tidak terstruktur, tidak berjenjang dan tidak bersinambungan;
·         waktu pendidikan terjadwal ketat atau tidak terjadwal, lama pendidikan relatif singkat;
·         cara pelaksanaan pendidikan bersifat mungkin artificial mungkin pula bersifat wajar;
·         evaluasi dilaksanakan secara sistematis dapat pula tidak sistematis;
·         credential mungkin ada dan mungkin pula tidak ada[22].
c. Lingkungan Pendidikan Informal
1. Pengertian Lingkungan Pendidikan Informal
Menurut Undang Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab 1 Pasal 13, Pendidkan Informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pelaksanaan pendidikan berlangsung tidak dengan cara-cara artificial, melainkan secara alamiah atau berlangsung secara wajar, oleh sebab itu pendidikan dalam keluarga disebut pendidikan informal.
2. Bentuk Pendidikan Non Formal
            Bentuk pendidikan informal adalah keluarga. Bentuk keluarga berdasarkan keanggotaannya, Dibedakan menjadi keluarga batih (nuclear family) dan keluarga luas (extended family). Keluarga batih adalah keluarga terkecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Sedangkan keluarga luas adalah keluarga yang terdiri atas beberapa keluarga batih[23].
5. Tujuan Pendidikan Informal
Sekalipun tidak ada tujuan pendidikan dalam keluarga yang dirumuskan secara tersurat, tetapi secara tersirat dipahami bahwa tujuan pendidikan dalam keluarga pada umumnya adalah agar anak menjadi pribadi yang mantap, beragama, bermoral, dan menjadi anggota masyarakat yang baik. Fungsi pendidikan dalam keluarga adalah (a) sebagai peletak dasar pendidikan anak, dan (b) sebagai persiapan ke arah kehidupan anak dalam masyarakatnya.
6. Karakteristik Pendidikan Informal
Karakteristik pendidikan informal antara lain :
a)    tujuan pendidikan lebih menekankan pada pengembangan karakter;
b)    peserta didiknya bersifat heterogen;
c)    isi pendidikan tidak terprogram secara formal;
d)    tidak berjenjang;
e)    Waktu pendidikan tidak terjadwal ketat, relatif lama;
f)     cara pelaksanaan pendidikan bersifat wajar
g)    evaluasi pendidikan tidak sistematis dan incidental;
h)   credential tidak ada dan tidak penting[24].
VI.SIMPULAN
            Dari urain diatas dapat kita simpulkan bahwa eksistensi lembaga formil dan non formil itu memiliki tugas yang sama yaitu memberikan corak atau warna terhadap perkembangan mental seorang anak didik dalam menemukan jati diri mereka.
            Seiring dengan perkembangan lembaga pendidikan di Indonesia maka kita harus memandang suatu lembaga pendidikan itu sebagai kesatuan warga masyarakat yang saling berinteraksi dalam lingkungan yang sama.








RUJUKAN
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004),
Al-Abrasyi, Moh. Athiyah, (1970). Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan Bintang
Dhofier, Z. (1982). Tradisi Pesantren.Jakarta: LP3ES.
Yusuf Hadimiarso, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Jakarta, Prenada Media,2004.
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Cet. VII; Jakarta: Balai Pustaka, 1984)
 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001),
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996),
Fadjar, M.A. (1998). Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan.
Jalaluddin dan Said, U. (1996). Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan. Jakarta: Grafindo Persada
Nashir, H. (1999). Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sarijo, M. (1980). Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta: Dharma Bakti.
Thoha, Chabib,  dan Muth'i, A. (1998). PBM-PAI di Sekolah: Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Fak. Tarbiyah lAIN Walisongo Sernarang
Wahyudin, Dinn. 2007. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Universitas Terbuka.
Tirtarahardja, Umar & La Sula. 2000. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.


[1]. Sarijo, M. (1980). Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta: Dharma Bakti.Dan Dhofier, Z. (1982). Tradisi Pesantren.Jakarta: LP3ES.
[2].Thoha, Chabib,  dan Muth'i, A. (1998). PBM-PAI di Sekolah: Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Fak. Tarbiyah lAIN Walisongo Sernarang
[3]. Yusuf Hadimiarso, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Jakarta, Prenada Media,2004., h. 85.
[4].Ibid.,
[5].Ibid.,
[6]. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Cet. VII; Jakarta: Balai Pustaka, 1984)
[7]. Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 50
[8] W.J.S. PoerwadarmintaOp.Cit. Hal. 889.
[9]. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 161
[10]. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), h. 102
[11]. Hasbullah, op.cit., h. 175
[12]. Ibid., h. 176
[13]. Mahmud Yunus, op. cit., h. 394.
[14] . Fadjar, M.A. (1998). Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan. Jalaluddin dan Said, U. (1996). Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan. Jakarta: Grafindo Persada
[15]. Nashir, H. (1999). Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

[16]. Al-Abrasyi, Moh. Athiyah, (1970). Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan Bintang
[17].Wahyudin, Dinn. 2007. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Universitas Terbuka.Cet. III.Hal.9

[18].Ibid.,
[19].Ibid., Hal.11
[20].Tirtarahardja, Umar & La Sula. 2000. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.Cet.III.Hal.179

[21].Din Wahyudi.Op.cit.Hal.13
[22].Ibid.,
[23].Ibid.,
[24].Ibid.,

1 komentar:

  1. Man Tagged "tatanium" in the Pronunciation of a
    The Pronunciation of a titanium alloys 'tatanium' in the Pharaonic text titanium mens ring has all three meanings: - a type of word or word that rocket league titanium white you will find "Tatanium" titanium forging (Pharaonic, Germanic, mens titanium rings American).

    BalasHapus