OLEH : ISMAIL
Abstrak:
“Pilihanmu dan pilihanku adalah apakah kita akan
mempergelap dunia kita ini ataukah kita akan menyorong sedikit matahari agar
bisa memantulkan cahaya nilai-nilai ilahi ke bumi sehingga kita bisa hidup
dengan harmoni dan berdampingan menciptakan surga dunia dan akherat bagi kita,
khasanah fi dunya wal akherah”(modified by ODO, 2012)
Kata
Kunci: Pandidikan Formil,Non Formil, Pandidikan Islam,Pesantren
I.Pendahuluan
Dalam perspektif historis, Indonesia merupakan sebuah negeri muslim yang
unik, letaknya sangat jauh dari pusat lahimya Islam (Mekkah). Meskipun Islam
baru masuk ke Indonesia pada abad ke tujuh, dunia internasional mengakui bahwa
Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama
Islam. Hal ini merupakan salah satu indikator keberhasilan Pendidikan Agama
Islam di Indonesia.
Lembaga Pendidikan Agama Islam pertama didirikan di Indonesia adalah dalam
bentuk pesantren[1]. Dengan karaktemya yang
khas "religius oriented", pesantren telah mampu meletakkan
dasar-dasar pendidikan keagamaan yang kuat. Para santri tidak hanya dibekali
pemahaman tentang ajaran Islam tetapi juga kemampuan untuk menyebarkan dan
mempertahankan Islam.
Masuknya model pendidikan sekolah membawa dampak yang kurang menguntungkan
bagi umat Islam saat itu, yang mengarah pada lahirnya dikotomi ilmu agama
(Islam) dan ilmu sekuler (ilmu umum dan ilmu sekuler Kristen). Dualisme model
pendidikan yang konfrontatif tersebut telah mengilhami munculnya gerakan
reformasi dalam pendidikan pada awal abad dua puluh. Gerakan reformasi tersebut
bertujuan mengakomodasi sistem pendidikan sekolah ke dalam lingkungan pesantren[2].
Corak model pendidikan ini dengan cepat menyebar tidak hanya di pelosok pulau
Jawa tetapi juga di luar pulau Jawa. Dari situlah embrio madrasah lahir. Bagai mana eksistensinya lembaga pendidikan
dibawah Kemenag sa’at ini mari kita lihat juklak makalah ini bersama-sama.
II.Pembahasan
Tidak
dapat dipungkiri bahwa kehadiran Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang otonomi daerah dan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah
dan Propinsi berpengaruh terhadap pendidikan dari sisi pengelolaan sebagaimana
dikemukakan oleh Yusuf Hadi Miarso sebagai berikut :
Pemberlakuan Undang – Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang otonomi daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000
tentang kewenangan pemerintah dan Propinsi sebagai daerah otonom berpengaruh
besar terhadap sektor pendidikan. Hal ini terlihat dari sisi pengelolaan
pendidikan diarahkan pada manajemen berbasais sekolah. Konsep kebijakan ini
memberikan otonomi lebih besar kepada warga sekolah ( guru, kepala sekolah,
orang tua dan masyarakat ) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan
pendidikan nasional.Kebijakan ini diharapkan dapat diterapkan di sekolah
termasuk Madrasah di Indonesia dengan memberikan peran kepada masyarakat untuk
memberikan pandangan – pandangannya terhadap eksistensi lembaga pendidikan agar
dapat meningkatkan kualitas lembaganya[3].
Sekolah, termasuk Madrasah sebagai
salah satu bagian dari pendidikan di Indonesia merupakan suatu sistem,
karena ia terdiri atas komponen – komponen yang mempunyai fungsi yang
berlainan, tetapi semuanya tergabung dalam suatu kesatuan yang utuh dan saling
berkaitan dan berinteraksi. Komponen sekolah meliputi guru, siswa, karyawan,
gedung, kurikulum, perabot, buku, dana dan prasarana. Sekolah/Madrasah sendiri,
sebagai suatu sistem, merupakan komponen dari suatu sistem yang lebih besar
yaitu masyarakat. Komponen yang lain meliputi diantaranya, keluarga, pasar,
pemerintahan setempat, tempat ibadah dan sebagainya. Orang – orang yang ada
dalam masyarakat tidak hanya guru, siswa dan karyawan sekolah, melainkan juga
orang tua siswa, pimpinan masyarakat dan masyarakat secara umum. Interaksi
tersebut digambarkan oleh Yusuf Hadi Miarso sebagai berikut :
Karena sekolah merupakan komponen
dalam sistem masyarakat, maka sekolah harus terkait dan berinteraksi dengan
komponen lain agar masyarakat itu dapat berfungsi dengan baik dan dapat
mencapai tujuan yang efektif. Masyarakat yang tidak mempunyai komponen
berupa Sekolah merupakan masyarakat yang ketinggalan zaman, dan tidak akan
dapat berkembang sebagaimana mestinya. Demikian juga kalau sekolah itu tidak
berinteraksi dengan komponen – komponen lain dalam masyarakat dan sebaliknya
tidak menerima masukan dari masyarakat, berupa pandangan – pandangan mereka
tentang sekolah, maka sekolah itu sebagai suatu komponen, tidak akan dapat
berfungsi dengan baik, dan akibatnya masyarakat yang bersangkutan juga tidak
dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan[4].
Pendapat di atas menurut Yusuf Hadi
Miarso dapat dianalogikan seperti sebuah mobil sebagai suatu sistem. Komponen
mobil tersebut meliputi, kerangka badan, mesin, kemudi, rem, roda termasuk juga
ban. Mobil tanpa mesin atau tanpa ban tentu saja tidak dapat berfungsi. Mobil
itu sendiri merupakan bagian atau komponen sistem transportasi, meliputi :
jalan, rambu– rambu lalu lintas, pengemudi, bahan bakar dan lain – lain.
Meskipun mobil sebagai suatu sistem mempunyai komponen lengkap dan dapat
berfungsi, tetapi kalau tidak ada pengemudi dan jalan, maka mobil tersebut
sebagai komponen dari sistem transportasi tidak dapat berfungsi dan bahkan
tidak ada manfaatnya.
Jelaslah bahwa agar sekolah itu
berfungsi dan berperan maka sekolah itu harus bertinteraksi dengan
lingkungan masyarakat setempat dengan meminta pandangan – pandangan mereka
terhadap eksistensi lembaga sekolah tersebut, agar memiliki kemajuan yang berarti
dimasa mendatang. Dalam konteks lain dapatlah dinyatakan bahwa, keterlibatan
masyarakat dalam memberikan pandangan – pandangan mereka dalam penyelenggaraan
kegiatan Sekolah/Madrasah diperlukan agar lembaga sekolah dapat berfungsi
dengan baik, sebagaimana dikemukakan oleh Yusuf Hadi Miarso sebagai berikut :
Pandangan – pandangan masyarakat
tentang sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan ditujukan untuk : (1)
terbentuknya kesadaran masyarakat tentang adanya tanggung jawab bersama dalam
pendidikan,(2) terselenggaranya kerjasama yang saling menguntungkan (saling
memberi dan menerima) antara semua pihak yang berkepentingan dengan
pendidikan,(3) meningkatnya kinerja sekolah yang berarti pula meningkatnya
produktifitas, kesempatan memperoleh pendidikian, keserasian proses dan hasil
pendidikan sesuai dengan kondisi anak didik dan lingkungan, serta
komitmen dari para pelaksana pendidikan[5].
Upaya yang perlu dilakukan dalam
rangka menumbuh kembangkan kesadaran masyarakat dalam memberikan pandangan –
pandangannya terhadap eksistensi sekolah adalah menumbuhkan komunikasi yang
efektif antara sekolah dan masyarakat. Menyediakan informasi saja, misalnya
berupa pengumuman belum merupakan komunikasi yang efektif. Komunikasi
yang efektif di tandai dengan adanya tindakan kerjasama yang serasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka untuk
mewujudkan dan mengembangkan partisipasi masyarakat berupa pandangannya
tentang eksistensi sekolah/Madrasah dengan memberikan kesempatan yang
seluas – luasnya kepada mereka (masyarakat) dalam memberikan pandangan –
pandangan tentang eksistensi sebuah lembaga pendidikan dari aspek kepribadian
guru, kegiatan belajar mengajar dan lain – lain.
III.Eksistensi Pendidikan Non Formal
Dilematis
Minim political will dan
Dukungan Pemerintah
Eksistensi
dunia pendidikan non formal (PNF) belakangan waktu dilematis. Pasalnya, lembaga
pendidikan ini acap kali dikonotasikan sebagai wadah pendidikan para remaja
putusan sekolah formal. Lain halnya dengan minimnya political will dan dukungan
pemerintah pusat dan daerah dalam pembinaannya, mengakibatkan kondisinya yang
mampu menciptakan life skill para keluarannya masih sering tidak dapat
ditampung di berbagai perusahaan.
Demikian
dikatakan MK Baginta Sembiring, ketua Himpunan Seluruh Pendidik dan Penguji
Indonesia-Pendidikan Non formal (HISPPI-PNF) Sumut, Minggu (25/11), seusai
acara pelantikan kepengurusan HIPPSI-PNF Labuhanbatu, di Gedung PKK Labuhanbatu
di Rantauprapat.
Kata
Sembiring, political will dari pihak eksekutif dan legislatif dinilai masih
belum optimal dalam memberi perhatian pengembangan lembaga itu. Padahal,
dihadapkan pada kompleksnya situasi pendidikan belakangan waktu, sebenarnya,
lembaga pendidikan non formal yang kini banyak muncul dapat dijadikan sebagai
alternatif solusi permasalahan di dunia pendidikan. Hal itu didasari, lembaga
PNF memiliki sifat aplikatif dan biaya yang relatif lebih murah. serta, banyak
lembaga pendidikan non formal terbukti mampu menghasilkan lulusan yang sama
kualitasnya bahkan lebih handal dari pada lulusan yang dihasilkan oleh lembaga
pendidikan formal dalam menghadapi persaingan, terlebih lagi fleksibelitas
waktu yang dibutuhkan, lembaga pendidikan non formal juga berpeluang untuk
menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai.
Padahal,
ujarnya persentase lulusan pendidikan formal yang ada masih banyak yang tidak
sanggup melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sementara era
globalisasi terus membutuhkan peningkatan kualitas generasi yang trampil dan
siap pakai. “Berbagai tempat yang menerima lowongan pekerjaan sekarang memiliki
standart dalam menerima calon pekerja yang trampil dan berwawasan luas.
Sedangkan, di Sumut tidak sedikit jumlah keluaran pendidikan formal terpaksa
kandas melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, disebabkan beberpa
faktor, salah satunya masalah pendanaan,” terangnya. Pemerintah, lanjutnya,
masih separuh hati dalam membina lembaga PNF yang merupakan jalur alternatif
penyedia tenaga kerja yang trampil, termasuk dalam memberi kemudahan pengurusan
ijin pendirian lembaga PNF. “Mental birokrasi masih perlu dikritisi dalam hal
memberi perhatian yang lebih serius,” paparnya.
Memang,
akunya, standart kurikulum PNF masih perlu terus ditingkatkan, terlebih lagi
dalam hal standart tenaga pendidik dan lembaga PNF yang sejatinya mampu
menelurkan tenaga-tenaga terampil. “Tahun 2008, pihak Badan Standart Nasional
Pendidikan Non formal (BSN-PNF) di Jakarta akan mengeluarkan dan terus mengkaji
ataupun menganalisa muatan kurikulum PNF yang ideal untuk penerapan dan
pedomannya di berbagai lembaga PNF yang ada. Dilain hal, bagi lembaga dan
tenaga PNF, juga pihak Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) juga akan
mengeluarkan standart mutu sebagai ukuran pendirian lembaga PNF se-Indonesia,”
bebernya.
PNF yang di
bawah koordinasi dengan pihak Diklusemas dan dinas tenaga kerja masing-masing
daerah, sejatinya kedepan dapat lebih sinergis dalam menyediakana tenaga-tenaga
yang terampil dan menyalurkannya ke berbagai institusi pencari kerja.
Pada
kesempatan itu, dilantik kepengurusan HIPPSI-PNF Labuhanbatu, sebagai ketua
Amin Prasetyo, sekretaris Razid Yuliwan. Serta, pada kesempatan yang sama,
dilantik pula kepengurusan Dewan pengurus cabang Himpunan Penyelenggara
Pelatihan dan Kursus Indonesia (DPC HPPKI) Labuhanbatu, sebagai ketua Tatang
Hidayat Pohan, sekretaris Hasymi Prihatin Siregar di lengkapi dengan beberapa
biro.
Salah satu
pendidikan keagamaan yang berkembang di masyarakat adalah Madrasah Diniyah.
Pendidikan ini merupakan evolusi dari sistem belajar yang dilaksanakan di
pesantren salafiyyah. Dengan berkembangnya zaman sehingga pendidikan Madrasah
Diniyah mengalami perubahan yaitu dengan menggunakan sistem klasikal yang di
dalamnya tidak hanya sekedar membaca al-Qur'an dan ilmu dasar agama, tetapi
meliputi ilmu-ilmu ke-Islaman lainnya. Dalam PP No. 55 Tahun 2007 tentang
pendidikan agama dan keagamaan pada pasal 15 menyebutkan bahwa pendidikan
diniyah formal menyelenggarakan pendidikan ilmu yang bersumber dari ajaran
agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan formal atau informal
dapat dihargai sederajat dengan hasil pendidikan formal keagamaan atau umum
atau kejuruan setelah lulus ujian yang diselenggarakan satuan pendidikan yang
terakreditasi yang ditunjukkan oleh pemerintah.
Berpijak dari
latar belakang tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kemungkinan
posisi pendidikan Madrasah Diniyah sebelum PP No. 55 tahun 2007, kemungkinan
posisi Madrasah Diniyah menurut PP No. 55 tahun 2007 dan kemungkinan implikasi
PP No. 55 tahun 2007 terhadap perkembangan Madrasah Diniyah.
Penelitian
ini termasuk penelitian pustaka (Library Research), yang menggunakan pendekatan
kualitatif. Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan metode editing data,
organizing data dan dalam menganalisis penulis menggunakan content analysis
dengan menggunakan metode berfikir induktif, deduktif dalam pemikiran
kesimpulannya.
Dari hasil
penelitian ini ditemukan bahwa Madrasah Diniyah non formal memperbaharui mutu
pendidikannya agar bisa menjadi seperti sekolah-sekolah formal pada umumnya.
Dalam ujian Madrasah Diniyah formal wajib memasukkan pelajaran umum yang
sekiranya dapat dijadikan tolak ukur sekolah pada umumnya agar bisa melanjutkan
ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Dengan hanya menggunakan ijazah pendidikan
madrasah formal dapat melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi.
A.
Surau
Pengertian
Surau adalah tempat (rumah) umat Islam melakukan ibadatnya (mengerjakan salat,
mengaji, dsb); langgar[6],
yang lebih lazim disebut sebagai tempat ibadah. Namun pada masa pra kemerdekaan
surau atau langgar ini merupakan tempat menuntut ilmu para santri dengan cara
tersembunyi.
B.
MDA
Kata madrasah
dalam bahasa Arab berarti tempat atau wahana untuk mengenyam proses
pembelajaran[7]. Dalam bahasa Indonesia madrasah disebut dengan
sekolah yang berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pengajaran[8].
Dari
pengertian di atas maka jelaslah bahwa madrasah adalah wadah atau tempat
belajar ilmu-imu keislaman dan ilmu pengetahuan keahlian lainnya yang
berkembang pada zamannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah
madrasah bersumber dari Islam itu sendiri. Namun pada akhir-akhir ini MDA sudah
menjadi tempat pengembang ilmu agama bagi anak-anak yang masih berada ditingkat
Sekolah Dasar yang bersifat pemula.
C.
TPQ
TPQ adalah
taman pendidikan qur’an keberadannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat baik
kalangan menengah kebawah yang mereka hanya mampu membiayai pendidikan ini
sekedarnya saja. Keberadaanya dimata pemerintah sampai sekarang masih eksis
namun hanya ligitimasi hukumnya tidak ada.
IV.Eksistensi pendidikan
yang Formil
A.
MIS,MTS,MAN
Tiga lembaga
pendidikan ini sama-sam berada dibawah naungan Kemenag, Semuanya mempelajari
pendidikan islam,namun berbeda pada usia pelaksanaannya. Munculnya Madrasah mulai didirikan dan
berkembang pada abad ke 5 H atau abad ke-10 atau ke-11 M. pada masa itu ajaran
agama Islam telah berkembang secara luas dalam berbagai macam bidang ilmu
pengetahuan, dengan berbagai macam mazhab atau pemikirannya. Pembagian bidang
ilmu pengetahuan tersebut bukan saja meliputi ilmu-ilmu yang berhubungan dengan
al-Qur’an dan hadis, seperti ilmu-ilmu al-Qur’an, hadits, fiqh, ilmu kalam,
maupun ilmu tasawwuf tetapi juga bidang-bidang filsafat, astronomi, kedokteran,
matematika dan berbagai bidang ilmu-ilmu alam dan kemasyarakatan[9].
1.Sistem Pendidikan dan Pengajaran Di
Madrasah
Sistem
pengajaran yang digunakan di madrasah adalah perpaduan antara sistem pada
pondok pesantren dengan sistem yang berlaku di sekolah-sekolah modern.
Penilaian untuk kenaikan tingkat ditentukan dengan penguasaan terhadap sejumlah
bidang pengajaran.tertentu.
Pada
perkembangan selanjutnya sistem pondok mulai ditinggal, dan berdirilah
madrasah-madrasah yang mengikuti sistem yang sama dengan sekolah-sekolah
modern. Namun demikian pada tahap awal madrasah tersebut masih bersifatdiniyah, di mana mata
pelajaran hanya agama dengan penggunaan kitab-kitab bahasa arab.
Sebagai
pengaruh dari ide-ide pembaharuan yang berkembang di dunia Islam dan
kebangkitan bangsa Indonesia ,
sedikit demi sedikit pelajaran umum masuk ke dalam kurikulum madrasah.
Buku-buku pelajaran agama mulai disusun khusus sesuai dengan tingkatan
madrasah, sebagai halnya buku-buku pengetahuan umum yang belaku di
sekolah-sekolah umum. Bahkan kemudian timbullah madrasah-madrasah yang mengikuti
sistem perjenjangan dalam bentuk sekolah-sekolah modern, seperti Madrasah
Ibtidaiyah untuk
tingkat dasar, Madrasah Tsanawiyah untuk tingkat menengah pertama, dan
adapula Kuliah Muallimin(pendidikan
guru) yang disebut normal Islam[10].
Pada tahap
selanjutnya penyesuaian tersebut semakin meningkat dan terpadu dengan baik
sehingga sukar untuk dipisahkan dan dibedakan antara keduanya, kecuali madrasah
yang langsung ditulis predikat Islamiyah. Kurikulum madrasah atau
sekolah-sekolah agama, mempertahankan agama sebagai mata pelajaran pokok,
walaupun dengan persentase yang berbeda. Pada waktu pemerintahan RI dalam hal
ini oleh Kementerian Agama mulai mengadakan pembinaan dan pengembangan terhadap
sistem pendidikan madrasah. Melalui Kementerian Agama, madrasah perlu
menentukan kriteria madrasah. Kriteria yang ditetapkan oleh Menteri Agama untuk
madrasah-madrasah yang berada di dalam wewenangnya adalah harus memberikan
pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok, paling sedikit enam jam seminggu.
Dari uraian-uraian
di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya sistem pendidikan dan
pengajaran di madrasah merupakan perpaduan antara sistem yang berlaku di pondok
pesantren dengan sistem yang berlaku di sekolah-sekolah modern.
2.
Pembinaan dan Pengembangan Madrasah
Sejak
timbulnya madrasah dan menjadikannya sebagai lembaga pendidikan yang mandiri,
tanpa bimbingan dan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Setelah Indonesia
merdeka, madrasah dan pesantren mulai mendapatkan perhatian dan pembinaan dari
pemerintah RI. UUD 1945 mengamanatkan, agar mengusahakan terbentuknya suatu
sistem pendidikan dan pengajaran yang bersifat nasional yang diatur
undang-undang[11].
Untuk
melaksanakan amanat tersebut, BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia
Pusat) sebagai Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat pada masa itu,
merumuskan pokok-pokok usaha pendidikan dan pengajaran yang terdiri dari 10
pasal. Pada pasal 5 (b) sebagaimana dikutip oleh Hasbullah, menetapkan bahwa
“madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah suatu alat dan sumber
pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat akar dalam
masyarakat Indonesia
pada umumnya, hendaknya juga mendapat perhatian dan bantuan materil dari
pemerintah[12].
Dalam hal ini
wewenang pembinaan dan pemberian bantuan dan tuntunan tersebut diserahkan
kepada Kementerian Agama. Tujuan pembinaan dan bantuan adalah agar madrasah
sebagai lembaga pendidikan Islam berkembang secara terintegrasi dalam sistem
pendidikan nasional, sebagaimana yang dikehendaki oleh UUD 1945.
Usaha integrasi
tersebut ternyata tidak berjalan mudah. Sikap mandiri dan sikap non-kompromi
dengan pemerintah pada masa sebelumnya, masih tetap berakar dalam masyarakat.
Oleh karena itu pembinaan dan pengembangan madrasah tersebut dilaksanakan
dengan penuh kebijaksanaan dan dilaksanakan secara bertahap.
Selanjutnya
dalam rangka meningkatkan madrasah sesuai dengan sasaran BPKNIP agar madrasah
dapat bantuan materil dan bimbingan dari pemerintah, maka kementerian agama
mengeluarkan peraturan Menteri Agama No. I tahun 1952. Menurut ketentuan ini,
yang dinamakan madrasah ialah “tempat pendidikan yang telah diatur sebagai
sekolah dan memuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam menjadi pokok
pengajarannya”[13].
B.
PESANTREN
Lahir pada abad 20 dengan munculnya Madrasah Manba'ul Ulum Kerajaan
Surakarta tahun 1905 dan Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah
Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909[14].
Madrasah berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan sistem
pendidikan Islam yang telah ada. Pembaharuan tersebut, menurut Karl Sternbrink
(1986), meliputi tiga hal, yaitu:
1.
Usaha
menyempumakan sistem pendidikan pesantren,
2.
Penyesuaian
dengan sistem pendidikan Barat, dan
3.
Upaya
menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pesantren dan sistem
pendidikan Barat.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam kini ditempatkan sebagai
pendidikan sekolah dalam sistem pendidikan nasional. Munculnya SKB tiga menteri
(Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri dalam Negeri)
menandakan bahwa eksistensi madrasah sudah cukup kuat beriringan dengan sekolah
umum. Di dalam salah satu diktum pertimbangkan SKB tersebut disebutkan perlunya
diambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar
lulusan dari madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum
dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
1. Pesantren di Era Modern
Persepsi masyarakat terhadap madrasah di era modern belakangan semakin
menjadikan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang unik. Di saat ilmu
pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, di saat filsafat hidup manusia modern
mengalami krisis keagamaan[15].dan
di saat perdagangan bebas dunia makin mendekati pintu gerbangnya, keberadaan
madrasah tampak makin dibutuhkan orang.
Terlepas dari berbagai problema yang dihadapi, baik yang berasal dari dalam
sistem seperti masalah manajemen, kualitas input dan kondisi sarana
prasarananya, maupun dari luar sistem seperti persyaratan akreditasi yang kaku
dan aturan-aturan lain yang menimbulkan kesan madrasah sebagai 'sapi perah',
madrasah yang memiliki karakteristik khas yang tidak dimiliki oleh model
pendidikan lainnya itu menjadi salah satu tumpuan harapan bagi manusia modern
untuk mengatasi keringnya hati dari nuansa keagamaan dan menghindarkan diri
dari fenomena demoralisasi dan dehumanisasi yang semakin merajalela seiring
dengan kemajuan peradaban teknologi dan materi. Sebagai jembatan antara model
pendidikan pesantren dan model pendidikan sekolah, madrasah menjadi sangat
fleksibel diakomodasikan dalam berbagai lingkungan. Di lingkungan pesantren,
madrasah bukanlah barang yang asing, karena memang lahirnya madrasah merupakan
inovasi model pendidikan pesantren. Dengan kurikulum yang disusun rapi, para
santri lebih mudah mengetahui sampai di mana tingkat penguasaan materi yang
dipelajari. Dengan metode pengajaran modern yang disertai audio visual aids,
kesan kumuh, jorok, ortodok, dan exclusive yang selama itu melekat pada
pesantren sedikit demi sedikit terkikis. Masyarakat metropolit makin tidak malu
mendatangi dan bahkan memasukkan putra-putrinya ke pesantren dengan model
pendidikan madrasah. Baik mereka yang sekedar berniat menempatkan
putra-putrinya pada lingkungan yang baik
(agamis) hingga yang benar-benar menguasai ilmu yang dikembangkan di pesantren
tersebut, orang makin berebut untuk mendapatkan fasilitas di sana. Pondok
Pesantren Modern Gontor Ponorogo, misalnya, penuh dengan putra putri
konglomerat, sekali daftar tanpa mikir bayar, lengkap sudah fasilitas didapat.
Ma'had Al-Zaitun yang berlokasi di daerah Haurgelis (sekitar 30 KM dari pusat
kota Indramayu), yang baru berdiri pada tahun 1994, juga telah menjadi incaran
masyarakat modern kelas menengah ke atas, bahkan sebagian muridnya berasal dari
negara-negara sahabat, seperti Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam.
Dengan demikian, model pendidikan madrasah di lingkungan pesantren telah
memiliki daya tawar yang cukup tinggi.
Model-model pondok pesantren modern seperti itu, kini telah bermunculan di
berbagai daerah. Di Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Kendal misalnya, juga ada
pondok pesantren "Darul Amanah" yang mengutamakan penguasaan bahasa
asing yakni Bahasa Arab dan Inggris. Pondok Pesantren yang didirikan oleh para
alumni Pondok Pesantren Modem Gontor Ponorogo pada tahun 1990 itu telah
menampung sekitar 1300 santri (siswa).
Melihat kenyataan seperti itu, tuntutan pengembangan madrasah akhir-akhir
ini dirasa cukup tinggi. Pengembangan madrasah di pesantren yang pada umumnya
berlokasi di luar kota dirasa tidak cukup memenuhi tuntutan masyarakat. Oleh
karena itu banyak model pendidikan madrasah bermunculan di tengah kota, baik di
kota kecil maupun di kota-kota metropolitan. Meskipun banyak madrasah yang
berkembang di luar lingkungan pesantren, budaya agamanya, moral dan etika
agamanya tetap menjadi ciri khas sebuah lembaga pendidikan Islam. Etika
pergaulan, perilaku dan performance pakaian para santrinya menjadi daya tarik
tersendiri, yang menjanjikan kebahagiaan hidup dunia akhirat sebagaimana tujuan
pendidikan Islam[16].
v. Lingkungan Pendidikan Formal
1. Pengertian Lingkungan
Pendidikan Formal
Lingkungan pendidikan formal
menurut Din Wahyudin adalah suatu satuan (unit) sosial atau lembaga sosial yang
secara sengaja dibangun dengan kekhususan tugasnya untuk melaksanakan proses
pendidikan. Dalam Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003
Bab I Pasal 11 dijelaskan bahwasannya pendidikan formal adalah jalur pendidikan
yang terstuktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi[17].
2. Bentuk Pendidikan Formal
Pada jalur pendidikan formal
pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah serta Sekolah
Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jenjang pendidikan menengah berbentuk
Sekolah Menengah Atas , Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah Kejuruan dan Madrasah
Aliyah Kejuruan. Sedangkan pendidikan tinggi berbentuk akademi, politeknik,
sekolah tinggi, institut dan universitas.
3. Tujuan Pendidikan Formal
Pendidikan formal atau sekolah
mempunyai tujuan pendidikan sesuai dengan jenjang bentuk dan jenisnya. Tujuan
sekolah dapat ditemukan pada kurikulum sekolah yang bersangkutan. Tujuan
sekolah umumnya adalah memberikan bekal kemampuan kepada peserta didik dalam
mengembangkan kehidupannya[18].
4. Karakteristik Pendidikan
Formal
Adapun karakteristik pendidikan
formal antara lain (a) lebih menekankan pengembangan intelektual; (b) peserta
didik bersifat homogen; (c) isi pendidikan terprogram secara
formal/kurikulumnya tertulis; (d) terstruktur, berjenjang dan bersinambungan;
(e) waktu pendidikan terjadwal dan relatif lama; (f) cara pelaksanaan
pendidikan bersifat formal dan artificial; (g) evaluasi pendidikan dilaksanakan
secara sistematis; (h) credential harus ada dan penting[19].
b. Lingkungan Pendidikan Non Formal
1. Pengertian Lingkungan Pendidikan Non Formal
Lingkungan pendidikan non
formal merupakan lembaga kemasyarakatan dan/atau kelompok sosial di masyarakat
, baik langsung maupun tak langsung, ikut mempunyai peran dan fungsi edukatif[20]..
Dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab I Pasal 12
Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang
dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang
2. Bentuk Pendidikan Non Formal
Bentuk pendidikan non formal
dapat terselenggara secara terstruktur dan berjenjang, dapat pula
diselenggarakan secara tidak terstruktur dan berjenjang. Bentuk penyelanggaraan
pendidikan non formal secara terstruktur dan berjenjang antara lain kursus
komputer, kursus bahasa inggris, kelompok belajar paket A, kelompok belajar
paket B yang merupakan lembaga kursus yang mempunyai tingkat kecakapan. Adapun
bentuk penyelenggaraan pendidikan yang tidak terstruktur dan tidak berjenjang
misalnya informasi, penyuluhan, ceramah melalui media.
3. Tujuan Pendidikan Non Formal
Pendidikan Non Formal mempunyai
tujuan pendidikan ditentukan oleh bentuk pendidikan formal itu sendiri sesuai
dengan jenisnya. Dalam pendidikan non formal dapat berfungsi sebagai pengganti,
pelengkap, penambah, juga pengembang pendidikan formal dan informal[21].
4. Karakteristik Pendidikan Non
Formal
Menurut Wahyudin karakteristik
pendidikan formal antara lain :
·
lebih menekankan pada pengembangan ketrampilan
praktis;
·
peserta didiknya bersifat heterogen;
·
isi pendidikan ada yang terprogram secara
tertulis ada pula yang tidak terprogram secara tertulis;
·
dapat terstruktur, berjenjang, dan
bersinambungan dan dapat pula tidak terstruktur, tidak berjenjang dan tidak
bersinambungan;
·
waktu pendidikan terjadwal ketat atau tidak
terjadwal, lama pendidikan relatif singkat;
·
cara pelaksanaan pendidikan bersifat mungkin
artificial mungkin pula bersifat wajar;
·
evaluasi dilaksanakan secara sistematis dapat
pula tidak sistematis;
·
credential mungkin ada dan mungkin pula tidak
ada[22].
c. Lingkungan Pendidikan Informal
1. Pengertian Lingkungan Pendidikan Informal
Menurut Undang Undang RI No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab 1 Pasal 13, Pendidkan
Informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pelaksanaan
pendidikan berlangsung tidak dengan cara-cara artificial, melainkan secara alamiah
atau berlangsung secara wajar, oleh sebab itu pendidikan dalam keluarga disebut
pendidikan informal.
2. Bentuk Pendidikan Non Formal
Bentuk
pendidikan informal adalah keluarga. Bentuk keluarga berdasarkan
keanggotaannya, Dibedakan menjadi keluarga batih (nuclear family) dan keluarga
luas (extended family). Keluarga batih adalah keluarga terkecil yang terdiri
dari ayah, ibu dan anak. Sedangkan keluarga luas adalah keluarga yang terdiri
atas beberapa keluarga batih[23].
5. Tujuan Pendidikan Informal
Sekalipun tidak ada tujuan
pendidikan dalam keluarga yang dirumuskan secara tersurat, tetapi secara
tersirat dipahami bahwa tujuan pendidikan dalam keluarga pada umumnya adalah
agar anak menjadi pribadi yang mantap, beragama, bermoral, dan menjadi anggota
masyarakat yang baik. Fungsi pendidikan dalam keluarga adalah (a) sebagai
peletak dasar pendidikan anak, dan (b) sebagai persiapan ke arah kehidupan anak
dalam masyarakatnya.
6. Karakteristik Pendidikan
Informal
Karakteristik pendidikan
informal antara lain :
a)
tujuan pendidikan lebih menekankan pada
pengembangan karakter;
b)
peserta didiknya bersifat heterogen;
c)
isi pendidikan tidak terprogram secara formal;
d)
tidak berjenjang;
e)
Waktu pendidikan tidak terjadwal ketat,
relatif lama;
f)
cara pelaksanaan pendidikan bersifat wajar
g)
evaluasi pendidikan tidak sistematis dan
incidental;
h)
credential tidak ada dan tidak penting[24].
VI.SIMPULAN
Dari urain diatas dapat kita
simpulkan bahwa eksistensi lembaga formil dan non formil itu memiliki tugas
yang sama yaitu memberikan corak atau warna terhadap perkembangan mental
seorang anak didik dalam menemukan jati diri mereka.
Seiring dengan perkembangan lembaga
pendidikan di Indonesia maka kita harus memandang suatu lembaga pendidikan itu
sebagai kesatuan warga masyarakat yang saling berinteraksi dalam lingkungan
yang sama.
RUJUKAN
Abuddin
Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan
Pertengahan(Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada, 2004),
Al-Abrasyi, Moh. Athiyah, (1970). Dasar-dasar Pokok
Pendidikan Islam, Bulan Bintang
Dhofier, Z. (1982). Tradisi Pesantren.Jakarta: LP3ES.
Yusuf Hadimiarso, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan,
Jakarta, Prenada Media,2004.
W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Cet. VII; Jakarta: Balai
Pustaka, 1984)
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada, 2001),
Mahmud
Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung,
1996),
Fadjar, M.A. (1998). Madrasah dan
Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan.
Jalaluddin dan Said, U. (1996). Filsafat Pendidikan
Islam: Konsep dan Perkembangan. Jakarta: Grafindo Persada
Nashir, H. (1999). Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sarijo, M. (1980). Sejarah
Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta: Dharma Bakti.
Thoha,
Chabib, dan Muth'i, A. (1998). PBM-PAI
di Sekolah: Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
bekerja sama dengan Fak. Tarbiyah lAIN Walisongo Sernarang
Wahyudin, Dinn. 2007. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Universitas Terbuka.
Tirtarahardja, Umar & La Sula. 2000. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
[1]. Sarijo, M.
(1980). Sejarah Pondok
Pesantren di Indonesia. Jakarta: Dharma Bakti.Dan Dhofier, Z. (1982). Tradisi
Pesantren.Jakarta: LP3ES.
[2].Thoha, Chabib, dan Muth'i, A. (1998). PBM-PAI di
Sekolah: Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
bekerja sama dengan Fak. Tarbiyah lAIN Walisongo Sernarang
[4].Ibid.,
[5].Ibid.,
[6]. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus
Umum Bahasa Indonesia (Cet. VII; Jakarta: Balai
Pustaka, 1984)
[7]. Abuddin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan(Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 50
[8] W.J.S.
PoerwadarmintaOp.Cit. Hal. 889.
[9]. Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2001), h. 161
[10]. Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
Hidakarya Agung, 1996), h. 102
[11]. Hasbullah, op.cit.,
h. 175
[12]. Ibid., h. 176
[13]. Mahmud Yunus, op.
cit., h. 394.
[14] . Fadjar, M.A. (1998). Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung:
Mizan. Jalaluddin dan Said, U. (1996). Filsafat Pendidikan Islam: Konsep
dan Perkembangan. Jakarta: Grafindo Persada
[17].Wahyudin,
Dinn. 2007. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Universitas Terbuka.Cet. III.Hal.9
[18].Ibid.,
[19].Ibid.,
Hal.11
[20].Tirtarahardja, Umar & La
Sula. 2000. Pengantar
Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.Cet.III.Hal.179
[21].Din
Wahyudi.Op.cit.Hal.13
[22].Ibid.,
[23].Ibid.,
[24].Ibid.,
Man Tagged "tatanium" in the Pronunciation of a
BalasHapusThe Pronunciation of a titanium alloys 'tatanium' in the Pharaonic text titanium mens ring has all three meanings: - a type of word or word that rocket league titanium white you will find "Tatanium" titanium forging (Pharaonic, Germanic, mens titanium rings American).