Kamis, 16 Mei 2013

Pokok-Pokok Pikiran Ahmad Dahlan Terhadapa Pendidikan Islam


POKOK - POKOK PEMIKIRAN KH.AHMAD DAHLAN TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM
OLEH : ISMAIL
I.                   Pendahuluan
Bila kita berbicara tentang pembaharuan dalam Islam, atau mungkin lebih tepat pembaharuan dalam pemahaman Islam, maka kita akan menanyakan, hal-hal apa saja dalam dunia Islam yang sudah mengalami degradasi sehingga memerlukan pembaharuan atau penyegaran. Pertanyaan ini muncul dalam pikiran penulis karena sampai sekarang penulis melihat perselisihan umat Islam dalam mengaplikasikan ajaran Islam. Perbedaan dalam pemahaman Islam sebenarnya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial, budaya dan politik, ekonomi daerah setempat.
Sebagai seorang Muslim dan kita tahu bahwa Islam itu sebagai agama rahmatan lil’alamin dan juga bahwa Islam itu merupakan agama yang memberikan kemaslahatan kepada kebaikan. Saya kira apa yang sedang didiskusikan, baik di Indonesia maupun di dunia-dunia Islam lainnya mengenai pembaharuan Islam adalah dalam rangka untuk menunjukan bahwa Islam itu bukan hanya agama yang kompatibel dengan keadaan sekarang, tapi Islam mampu memberikan ruh, memberikan spirit kepada satu peradaban sekarang yang sekular. Peradaban sekular itu merupakan peradaban yang berilmu pengetahuan yang tidak berdasarkan pada fondasi-fondasi keagamaan seperti kontribusi-kontribusi ketatanegaraan, demokrasi, hukum semuanya bukan pada satu pemahaman demokrasi keagamaan tetapi sekular.
Fenomena Islam Indonesia tampaknya masih tetap menjadi fokus menarik bagi para pemerhati, termasuk oleh Giora Eliraz, seorang sarjana lulusan Australian National University yang sekarang mengajar di The Hebrew University of Jerusalem. Karya Giora Eliraz yang di review oleh Jajang Jahroni[1]. mengatakan; Eliraz menulis bahwa wacana Islam di Asia Tenggara masih cenderung diabaikan dibanding, misalnya, Timur Tengah yang menyita perhatian para sarjana Barat. Padahal Asia Tenggara adalah kawasan yang dihuni oleh lebih dari dua ratus juta kaum muslim. Dan yang lebih menarik lagi, dari waktu ke waktu, Islam di Asia Tenggara terutama di Indonesia menampilkan wajah yang berbeda dengan wajah Islam yang selama ini dikenal oleh Barat. Islam di Asia Tenggara adalah Islam moderat. Secara sederhana Islam moderat didefinisikan sebagai Islam yang menjunjung tinggi toleransi dan pluralisme. Penting dicatat di sini, seperti juga sering ditulis oleh para sarjana, bahwa wajah Islam di Indonesia khususnya, dan Asia Tenggara umumnya, digambarkan “lebih teduh” ketimbang Islam di Timur Tengah yang tampak “lebih keras”.
Hal ini mungkin sebagai akibat dari kenyataan bahwa kaum muslim di kawasan Asia Tenggara dan di Timur Tengah menghadapi persoalan yang berbeda. Kaum Muslimin di Asia Tenggara tidak menghadapi persoalan-persoalan “seruwet” yang dihadapi saudara-saudara mereka di Timur Tengah.
Selanjutnya bagaimanakah kita memahami perbedaan dan persamaan dalam berbagai cara dalam beragama kita? Perhatian apa yang harus diberikan pada perbedaan dan persamaan itu? Menyikapinya secara tepat sangatlah penting bagi pemerhati yang ingin secara cerdas mempelajari dan mengaitkannya dengan tingkah laku dan ekspresi keagamaan para pengikutnya. Hasrat menarik pemeluk baru dengan ditambah perasaan curiga kepada pihak-pihak luar menimbulkan konflik mereka dengan tradisi agama-agama lain.
Islam dipahami oleh Pendirinya sebagai sebuah Agama Kedamaian, yakni sebagai jalan hidup yang memungkinkan manusia hidup dengan baik di dunia ini dan kembali dengan baik pula ke dunia lainnya. Islam menginginkan terciptanya kedamaian dan kemakmuran di dunia ini.
Nabi Muhammad mendefinisikan seorang muslim sebagai “orang yang tangan dan lidahnya tidak menyakiti seorang pun Muslim lainnya.” “Fitnah lebih kejam dari pada pembunuhan,”(Al Quran), sebagai pesan kedamaian dan kemakmuran sekaligus sebagai hukum universal bagi penciptaan dan manusia, Islam mengklaim diri sama tuannya dengan manusia itu sendiri[2].
Sejarah pemikiran dalam Islam memang merupakan bawaan dari ajaran Islam sendiri. Karena dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat-ayat yang memerintahkan untuk membaca, berfikir, menggunakan akal, yang kesemuanya medorong umat Islam terutama pada ahlinya untuk berfikir mengenai segala sesuatu guna mendapatkan kebenaran dan kebijaksanaan.
Kebangkitan pemikiran dalam dunia Islam baru muncul abad 19 yang dipelopori oleh Sayyid Jamalludin al-Afghani di Asia Afrika, Muhammad Abduh di mesir. Bias kedua tokoh ini di bawa oleh pelajar Indonesia yang belajar di Timur Tengah seperti diantaranya K.H. Ahmad Dahlan. Berbekal ilmu agama yang ia kuasai dan ide-ide pembaru dari Timur Tengah, K.H. Ahmad Dahlan mencoba menerapkannya di bumi Nusantara.

II. Riwayat Hidup
(K.H. Ahmad Dahlan, Kauman, Yogyakarta, 1868-23 Februari 1923)[3]. Beliau adalah pendiri Muhammadiyah. Beliau adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. K.H. Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogjakarta pada masa itu. Ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat sebagai penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu. K.H. Ahmad Dahlan meninggal dunia di Yogyakarta, tanggal 23 Februari 1923. Beliau juga dikenal sebagai seorang Pahlawan Nasional Indonesia[4].
Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Walisongo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).
Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Makkah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Makkah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta[5].
Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991). Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9). Beliau dimakamkan di KarangKajen, Yogyakarta.
II.                Latar Belakang dan Ide Pemikiran
K.H. Ahmad Dahlan tidak pernah mengalami pendidikan formal. Ia menguasai beragam ilmu dari belajar secara otodidak baik belajar kepada ulama atau seorang ahli atau membaca buku-buku atau kitab-kitab. Beliau belajar ilmu fikih dari Kyai Mohammad Soleh yang juga kakak iparnya sendiri, belajar ilmu nahwu dari K.H. Muhcsin, belajar ilmu falaq dari K.H. Raden 0Dahlan dari Pondok Pesantren Termas, belajar ilmu hadits dari Kyai Mahfudz, belajar qiroatul qur’an dari Syekh Amin dan lain-lain. K.H. Ahmad Dahlan juga pernah berinteraksi dengan para ulama terutama saat beliau berada di Mekah, misalnya dengan Syekh Muhammad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya dan lain-lain[6]
Kiai Ahmad Dahlan terlibat aktif dalam sistem kekuasaan Kerajaan Jawa sebagai pejabat keagamaan, bukan pedagang, dan prestasi duniawi bukan tujuan final, melainkan mediasi prestasi sesudah mati. Reformasi sosial budaya gerakan ini terus berlangsung hampir tanpa contoh dalam sejarah dan pemikiran pembaru Islam di berbagai belahan dunia. Ahmad Dahlan bisa dipastikan tidak pernah membaca karya Max Weber yang belum pernah berkunjung ke negeri ini. Jika terdapat kesesuaian gagasan dan kerja sosial keagamaan Dahlan dengan tesis Weber dan tradisi Calvinis, mungkin lebih sebagai ”insiden sosiologis” sunnatullah atau hukum alam.
Gagasan dasar Dahlan terletak pada kesejajaran kebenaran tafsir Al Quran, akal suci, temuan iptek, dan pengalaman universal kemanusiaan. Belajar filsafat baginya adalah kunci pengembangan kemampuan akal suci, selain belajar pada pengalaman beragam bangsa dan pemeluk agama. Dari sini diperoleh pengetahuan tentang bagaimana mencapai tujuan penerapan ajaran Islam, yaitu penyelamatan kehidupan umat manusia di dunia berdasarkan cinta kasih[7]
Sikap K.H. Ahmad Dahlan dipraktekkan dalam misi dahwahnya untuk mengubah arah kiblat masjid-masjid Yogyakarta termasuk Masjid Kerathon yang dinilainya tidak tepat, dan kaena itu perlu diubah arahnya.
Ahmad Dahlan tidak serta merta menyuruh mengubah arah kiblat secara sepihak. Sebagai pembaru, ia lebih menekankan adanya dialog untuk meyakinkan sasaran dahwahnya, atau orang-orang yang tidak sepaham dengannya. Karena menurut Ahmad Dahlan dialog merupakan alat atau sarana untuk mencapai kebenaran[8]
Haji Majid, seorang murid K.H. Ahmad Dahlan menuliskan pengalamannya dalam risalah singkat Falsafah Ajaran K.H. Ahmad Dahlan. Setidaknya ada tujuh point yang dapat dipetik yaitu,
Pertama; Mengutip perkataan al-Ghazali, K.H. Ahmad Dahlan mengatakan bahwa manusia itu semuanya mati (perasaannya) kecuali para ulama yaitu orang-orang yang berilmu. Dan ulama itu senantiasa dalam kebingungan kecuali mereka yang beramal. Dan yang beramal pun semuanya dalam kekhawatiran kecuali mereka yang ikhlas dan bersih.
Kedua; Kebanyakan mereka di antara manusia berwatak angkuh dan takabur. Mereka mengambil keputusan sendiri-sendiri. K.H. Ahmad Dahlan heran kenapa pemimpin agama dan yang tidak beragama selalu hanya beranggap, mengambil keputusan sendiri tanpa mengadakan pertemuan antara mereka, tidak mau bertukar pikiran memperbincangkan mana yang benar dan mana yang salah. Hanya anggapan-anggapan saja, disepakatkan dengan istrinya, disepakatkan dengan muridnya, disepakatkan dengan teman-temannya sendiri. Tentu saja akan dibenarkan. Tetapi marilah mengadakan permusyawaratan dengan golongan lain di luar golongan masing-masing untuk membicarakan manakah yang sesungguhnya yang benar dan manakah sesungguhnya yang salah.
Ketiga; Manusia kalau mengerjakan pekerjaan apapun, sekali, dua kali, berulang-ulang, maka kemudian menjadi biasa. Kalau sudah menjadi kesenangan yang dicintai. Kebiasaan yang dicintai itu sukar untuk dirubah. Sudah menjadi tabiat bahwa kebanyakan manusia membela adat kebiasaan yang telah diterima, baik dari sudut i’tiqat, perasaan kehendak maupun amal perbuatan. Kalau ada yang akan merubah sanggup membela dengan mengorbankan jiwa raga. Demikian itu karena anggapannya bahwa apa yang dimilikinya adalah benar.
Keempat; Manusia perlu digolongkan menjadi satu dalam kebenaran, harus sama-sama menggunakan akal pikirannya untuk memikirkan bagaimana sebenarnya hakikat dan tujuan manusia hidup di dunia. Manusia harus mempergunakan pikirannya untuk mengoreksi soal i‘tikad dan kepercayaannya, tujuan hidup dan tingkah lakunya, mencari kebenaran yang sejati.
Kelima; Setelah manusia mendengarkan pelajaran-pelajaran fatwa yang bermacam-macam membaca beberapa tumpuk buku dan sudah memperbincangkan, memikirkan, menimbang, membanding-banding ke sana ke mari, barulah mereka dapat memperoleh keputusan, memperoleh barang benar yang sesungguhnya. Dengan akal pikirannya sendiri dapat mengetahui dan menetapkan, inilah perbuatan yang benar. Sekarang kebiasaan manusia tidak berani memegang teguh pendirian dan perbuatan yang benar karena khawatir, kalau barang yang benar, akan terpisah dan apa-apa yang sudah menjadi kesenangannya, khawatir akan terpisah dengan teman-temannya.
Keenam; Kebanyakan para pemimpin belum berani mengorbankan harta benda dan jiwanya untuk berusaha tergolongnya umat manusia dalam kebenaran. Malah pemimpin-pemimpin itu biasanya hanya mempermainkan, memperalat manusia yang bodoh-bodoh dan lemah.
Ketujuh; Ilmu terdiri atas pengetahuan teori dan amal (praktek). Dalam mempelajari kedua ilmu itu supaya dengan cara bertingkat. Kalau setingkat saja belum bisa mengerjakan maka tidak perlu ditambah.
Bagi Ahmad Dahlan, ajaran Islam tidak akan membumi dan dijadikan pandangan hidup pemeluknya, kecuali dipraktikkan. Betapapun bagusnya suatu program, menurut Dahlan, jika tidak dipraktikkan, tak bakal bisa mencapai tujuan bersama. Karena itu, Ahmad Dahlan tak terlalu banyak mengelaborasi ayat-ayat Al-Qur’an, tapi ia lebih banyak mempraktekkannya dalam amal nyata[9].
Tafsirnya Ahmad Dahlan atas surat Ali ’Imran Ayat 104, basis teologis organisasi modern sebagai instrumen ritus dan pemecahan problem kehidupan manusia, tidak dtemukan dalam tafsir klasik.
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf d mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali Imran; 104)[10].
Demikian pula tafsir surat Al-Ma’un sebagai referensi aksi pemberdayaan kaum tertindas atas pertimbangan pragmatis dan humanis, seperti aksi pemberdayaan kaum perempuan di ruang publik.
Artinya : Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?, Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat ria. dan enggan (menolong dengan) barang berguna.
Kecenderungan ideologisasi tafsir Salafi di atas bisa dilihat dari tumpang tindih ajaran Islam otentik dan ajaran Islam sebagai tasfir tersebut. Keyakinan kebenaran mutlak dan kesempurnaan ajaran Islam kemudian diterapkan pada tafsir Salafi yang dikukuhkan melalui hierarki kekudusan sejarah yang menempatkan generasi sahabat lebih kudus dan lebih benar dari generasi tabi’in (pascasahabat) dan seterusnya.
Gagasan genial Dahlan mencairkan hegemoni tafsir Salafi yang secara otentik tidak bisa dirujukkan pada Abduh, Rasyid Ridla, dan Afghani, apalagi Wahabi. Rasionalitas pemahaman dan praktik ritus mungkin diambil dari tokoh pembaru, tapi inovasi kreatif pragmatis-humanis pemihakan pada kaum tertindas diambil dari pengalaman kaum Kristiani di Tanah Air. Lebih penting lagi ialah pengalaman induktif kemanusiaan universal Kiai sendiri yang mendasari hampir seluruh gagasan dan kerja sosialnya.
Sulit dicari contohnya dalam sejarah pemikiran Islam ketika Kiai mendirikan organisasi dan berbagai model pemberdayaan perempuan, kaum proletar dan tertindas (mustadl’afin). Sayang, model gerakan yang belakangan populer di kalangan LSM itu kini semakin terasing dari kegiatan Muhammadiyah ketika gerakan ini tumbuh besar.
III. Gagasan Pemikiran
A.Pembaharuan Lewat Politik
Sebelum Muhammadiyah berdiri, Kiai Ahmad Dahlan telah melakukan berbagai kegiatan keagamaan dan dakwah. Tahun 1906, Kiai diangkat sebagai khatib Masjid Besar Yogyakarta dengan gelar Ketib Amin oleh Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat dalam usianya yang relatif muda sekitar 28 tahun, ketika ayahanda Kyai mulai uzur dari jabatan serupa.Satu tahun kemudian (1907) Kiai memelopori Musyawarah Alim Ulama. Dalam rapat pertama beliau menyampaikan arah kiblat Masjid Besar kurang tepat.
Tahun 1922 Kiai membentuk Badan Musyawarah Ulama. Tujuan badan itu ialah mempersatukan ulama di seluruh Hindia Belanda dan merumuskan berbagai kaidah hukum Islam sebagai pedoman pengamalan Islam khususnya bagi warga Muhammadiyah. Badan Musyawarah ini diketuai RH Moehammad Kamaludiningrat, penghulu Kraton. Meskipun pernah berbeda pendapat, Moehammad Kamaludiningrat ini yang mendorong para pimpinan Muhammadiyah kemudian membentuk Majelis Tarjih (1927). Majelis ini diketuai Kiai Mas Mansur. Dengan tujuan dakwah agar manusia berfikir dan tertarik pada kebagusan Islam melalui pembuktian jalan kepandaian dan ilmu.
Tahun 1909, Kiai Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo. Tujuannya selain sebagai wadah semangat kebangsaan, juga untuk memperlancar aktivitas dakwah dan pendidikan Islam yang dilakukannya. Ketika Muhammadiyah terbentuk, bahkan 7 orang pengurusnya menyusul bergabung dengan Boedi Oetomo. Hubungan Muhammadiyah dengan Boedi Oetomo sangat erat, sehingga Kongres Boedi Oetomo tahun 1917 diselenggarakan di rumah Kiai Ahmad Dahlan.
Di sisi lain Dr. Soetomo pendiri Boedi Oetomo juga banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan Muhammadiyah dan menjadi Penasehat (Adviseur Besar) Muhammadiyah. Dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 (Surabaya), Dr.Soetomo memberikan ceramah (khutbah) dengan tema Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Khutbah ini yang mendorong lahirnya PKO dengan rumah sakit dan panti asuhannya kemudian. Dr.Soetomo pun membantu memperlancar pengesahan berdirinya Muhammadiyah, tiga tahun setelah berdirinya.
Untuk mengetahui informasi perkembangan pemikiran di Timur Tengah Ahmad Dahlan menjalin hubungan intensif melalui Jami’at Khair dan masuk menjadi anggotanya pada tahun 1910. Ketika Syarikat Islam berdiri, Ahmad Dahlan pun ikut serta menjadi anggota.[11]
Rupannya dengan masuknya Ahmad Dahlan pada semua organisasi tersebut di atas dakwahnya semakin meluas dan mendapat respon positif dan di dukung oleh kalangan modernis dan perkotaan. Dari sinilah Ahmad Dahlan mendapat masukan dari berbagai pihak, yang akhirnya pada tanggal 18 November 1912 Ahmad Dahlan mendirikan wadah gerakan bagi pikirannya yaitu “Muhammadiyah”
B.Pembaharuan Lewat Pendidikan
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:
KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat; Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;
Usahanya `memberi warna” pada Budi Utomo yang cenderung kejawen dan sekuler, tidaklah sia-sia. Terbukti kemudian dengan munculnya usulan dari para muridnya untuk mendirikan lembaga pendidikan sendiri, lengkap dengan organisasi pendukung.
Hal itu dimaksudkan untuk menghindari kelemahan pesantren yang biasanya ikut mati jika kiainya meninggal. Maka pada 18 Nopember 1912 berdirilah sekolah Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah. Sekolah tersebut mengambil tempat di ruang tamu rumahnya sendiri ukuran 2,5 x 6 M di Kauman.
Madrasah tersebut merupakan sekolah pertama yang dibangun dan dikelola oleh pribumi secara mandiri yang dilengkapi dengan perlengkapan belajar mengajar modern seperti; bangku, papan tulis, kursi (dingklik; kursi berkaki empat dari kayu dengan tempat duduk panjang), dan sistem pengajaran secara klasikal.
Cara belajar seperti itu, merupakan cara pengajaran yang asing di kalangan masyarakat santri, bahkan tidak jarang dikatakan sebagai sekolah kafir. Pernah dia kedatangan seorang tamu guru ngaji dari Magelang yang mengejeknya dengan sebutan kiai kafir, dan kiai palsu karena mengajar dengan menggunakan alat-alat sekolah milik orang kafir. Kepada guru ngaji yang mengejeknya itu Dahlan sempat bertanya, “Maaf, Saudara, saya ingin bertanya dulu. Saudara dari Magelang ke sini tadi berjalankah atau memakai kereta api?”
“Pakai kereta api, kiai,” jawab guru ngaji. “Kalau begitu, nanti Saudara pulang sebaiknya dengan berjalan kaki saja,” ujar Dahlan. “Mengapa?” tanya sang tamu keheranan. “Kalau saudara naik kereta api, bukankah itu perkakasnya orang kafir?” kata Dahlan telak.
Di sinilah Ahmad Dahlan menerapkan Al Qur’an surah 96 ayat 1 yang memberi penekanan arti pentingnya membaca, diterjemahkan dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Ahmad Dahlan berfikir dengan pendidikan buta huruf diberantas. Apabila umat Islam tidak lagi buta huruf, maka mereka akan mudah menerima informasi lewat tulisan mengenai agamanya.
  1. Pemikiran Pendidikan Islam Ahmad Dahlan
Buya merasa tidak puas dengan system dan praktik pendidikan saat itu, dibuktikan dengan pandangannya mengenai tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan manusia yang baik budi, luas pandangan, dan bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat.[12] Karena itu buya merentaskan beberapa pandangannya mengenai pendidikan dalam bentuk pendidikan model Muhammadiyah khususnya, antara lain:
  1. Pendidikan Integralistik
K.H Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah tipe man of action sehingga sudah pada tempatnya apabila mewariskan cukup banyak amal usaha bukan tulisan. Oleh sebab itu untuk menelusuri bagaimana orientasi filosofis pendidikan Beliau musti lebih banyak merujuk pada bagaimana beliau membangun sistem pendidikan. Namun naskah pidato terakhir beliau yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik untuk dicermati karena menunjukkan secara eksplisit konsen Beliau terhadap pencerahan akal suci melalui filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang menggambarkan tingginya minat Beliau dalam pencerahan akal, yaitu: (1) pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran akali dengan di dasari hati yang suci; (2) akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia; (3) ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang hanya akan dicapai hanya jika manusia menyerah kepada petunjuk Allah swt. Pribadi K.H. Ahmad Dahlan  adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa yang tersirat dalam tafsir Al-Manaar sehingga meskipun tidak punya latar belakang pendidikan Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam sendiri, menyerukan ijtihad dan menolak taqlid. Dia dapat dikatakan sebagai suatu “model” dari bangkitnya sebuah generasi yang merupakan “titik pusat” dari suatu pergerakan yang bangkit untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi golongan Islam yang berupa ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan kejumudan paham agama Islam.
Berbeda dengan tokoh-tokoh nasional pada zamannya yang lebih menaruh perhatian pada persoalan politik dan ekonomi, K.H. Ahmad Dahlan mengabdikan diri sepenuhnya dalam bidang pendidikan. Titik bidik pada dunia pendidikan pada gilirannya mengantarkannya memasuki jantung persoalan umat yang sebenarnya. Seiring dengan bergulirnya politik etis atau politik asosiasi (sejak tahun 1901), ekspansi sekolah Belanda diproyeksikan sebagai pola baru penjajahan yang dalam jangka panjang diharapkan dapat menggeser lembaga pendidikan Islam semacam pondok pesantren. Pendidikan di Indonesia pada saat itu terpecah menjadi dua: pendidikan sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, yang tak mengenal ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama; dan pendidikan di pesantren yang hanya mengajar ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama saja.
Dihadapkan pada dualisme sistem (filsafat) pendidikan ini K.H. Ahmad Dahlan  “gelisah”, bekerja keras sekuat tenaga untuk mengintegrasikan, atau paling tidak mendekatkan kedua sistem pendidikan itu. Cita-cita pendidikan yang digagas Beliau adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang muslim yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan  melakukan dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Kedua tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena umum; yang pertama sudah diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak dilakukan oleh yayasan pendidikan Islam lain. Namun, ide Beliau tentang model pendidikan integralistik yang mampu melahirkan muslim ulama-intelek masih terus dalam proses pencarian. Sistem pendidikan integralistik inilah sebenarnya warisan yang musti kita eksplorasi terus sesuai dengan konteks ruang dan waktu, masalah teknik pendidikan bisa berubah sesau dengan perkembangan ilmu pendidikan atau psikologi perkembangan. Dalam rangka menjamin kelangsungan sekolahan yang ia dirikan maka atas saran murid-muridnya Beliau akhirnya mendirikan persyarikatan Muhammadiyah tahun 1912.
Metode pembelajaran yang dikembangkan K.H. Ahmad Dahlan  bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Contoh klasik adalah ketika Beliau menjelaskan surat al-Ma’un kepada santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan harus mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu mengamalkan perintah itu baru diganti surat berikutnya. Ada semangat yang musti dikembangkan oleh pendidik Muhammadiyah, yaitu bagaimana merumuskan sistem pendidikan ala  al-Ma’un sebagaimana dipraktekan K.H. Ahmad Dahlan . Anehnya, yang diwarisi oleh warga Muhammadiyah adalah teknik pendidikannya, bukan cita-cita pendidikan, sehingga tidak aneh apabila ada yang tidak mau menerima inovasi pendidikan. Inovasi pendidikan dianggap sebagai bid’ah. Sebenarnya, yang harus kita tangkap dari K.H. Ahmad Dahlan  adalah semangat untuk melakukan perombakan atau etos pembaruan, bukan bentuk atau hasil ijtihadnya. Menangkap api tajdid, bukan arangnya. Dalam konteks pencarian pendidikan integralistik yang mampu memproduksi ulama-intelek-profesional, gagasan Abdul Mukti Ali menarik disimak. Menurutnya, sistem pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia ini yang paling baik adalah sistem pendidikan yang mengikuti sistem pondok pesantren karena di dalamnya diresapi dengan suasana keagamaan, sedangkan sistem pengajaran mengikuti sistem madrasah/sekolah, jelasnya madrasah/sekolah dalam pondok pesantren adalah bentuk sistem pengajaran dan pendidikan agama Islam yang terbaik.  Dalam semangat yang sama, belakangan ini sekolah-sekolah Islam tengah berpacu menuju peningkatan mutu pendidikan. Salah satu model pendidikan terbaru adalah full day school, sekolah sampai sore hari, tidak terkecuali di lingkungan Muhammadiyah.
  1. Mengadopsi Substansi dan Metodologi Pendidikan Modern Belanda dalam Madrasah-madrasah Pendidikan Agama
Yaitu mengambil beberapa komponen pendidikan yang dipakai oleh lembaga pendidikan Belanda. Dari ide ini, K.H. Ahmad Dahlan dapat menyerap dan kemudian dengan gagasan dan prektek pendidikannya dapat menerapkan metode pendidikan yang dianggap baru saat itu ke dalam sekolah yang didirikannya dan madrasah-madrasah tradisional. Metode yang ditawarkan adalah sintesis antara metode pendidikan modern Barat dengan tradisional. Dari sini tampak bahwa lembaga pendidikan yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan berbeda dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat pribumi saat ini. Sebagai contoh, K.H. Ahmad Dahlan mula-mula mendirikan SR di Kauman dan daerah lainnya di sekitar Yogyakarta, lalu sekolah menengah yang diberi nama al-Qism al-Arqa yang kelak menjadi bibit madrasah Mu’allimin dan Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta. Sebagai catatan, tujuan umum lembaga pendidikan di atas baru disadari sesudah 24 tahun Muhammadiyah berdiri, tapi Amir Hamzah menyimpulkan bahwa tujuan umum pendidikan Muhammadiyah menurut K.H. Ahmad Dahlan adalah:[13]
  1. Baik budi, alim dalam agama
  2. Luas pandangan, alim dalam ilmu-ilmu dunia (umum)
  3. Bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya
Mungkin ada benarnya jika dikaitkan dengan latar belakang timbulnya pemikiran pendidikan Islam K.H. Ahmad Dahlan yang antara lain disebabkan oleh rasa tidak puas terhadap system pendidikan yang ada dan hanya mengembangkan salah satu bidang pengetahuan dari kedua pengetahuan yang ingin dirangkul oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya. Ijtihad pemikiran pendidikan yang dicetuskan K.H. Ahmad Dahlan melalui gagaan dan praktek pendidikan Islamnya merupakan cikal bakal dan dijadkan estafet dalam pembaharuan system pendidikan Muhammadiyah, sebagai contoh “pondok Muhammadiyah”. Ada empat pokok model pembaharuan pendidikan di Pondok Muhammadiyah antara lain:[14]

No.
Sistem Pendidikan Lama
Pondok Muhammadiyah
1. 2. 3. 4.
System belajar mengajar Weton dan Sorogan. Bahan pelajaran semata-mata agama, kitab-kitab karangan ulama pembaharuan tidak dipergunakan. Belum ada RP yang teratur dan integral. Hubungan guru dan murid lebih bersifat otoriter dan kurang demokratis.
Sistem klasikal dengan cara-cara Barat. Bahan pelajaran tetap, ditambah ilmu pengetahuan umum. Kitab-kitab agama dipergunakan secara luas, baik klasik maupun kontemporer.[15] Sudah diatur dengan RP. Diusahakan suasana hubungan guru dan murid lebih akrab bebas dan demokratis.
Dalam pendidikan di pondok Muhammadiyah mata pelajaran agama dan alat untuk mempelajari agama sebagai mata pelajaran pokok. Program pendidikan pondok Muhammadiyah berbeda dengan sekolah Muhammadiyah. Pondok Muhammadiyah menekankan hal keagamaan . sementara sekolah kelas I dan II yang dikelola Muhammadiyah, pendidikan agama hanya sebagai mata pelajaran suatu bidang studi yaitu mata pelajaran Agama Islam. mata pelajaran ini disampaikan pada suatu kelas tertentu dnegna waktu yang ditetapkan. Sekolah Muhammadiyah pada awal abad ke-20 sudah menerapkan system ulangan, absensi murid dan kenaikan kelas. Sementara itu, ujian idpakai sebagai pengukur kecakapan murid. Pendidikan Muhammadiyah juga ditunjang dengan beberapa kegiatan di luar jam pelajaran dan guru dihormati secara wajar.
K.H. Ahmad Dahlan telah membawa pembaharuan pendidikan waktu itu melalui Muhammadiyah baik dengan memasukkan mata pelajaran agama di sekolah-sekolah umum dan menyerap ilmu-ilmu yang datang dari Barat, serta memasukkan kitab-kitab ulama baru ke dalam kurikulumnya. Semuanya itu mengundang munculnya berbagai kecaman terhadap beliau. Ada yang menuduh sebagai murtad, kreisten, penganut paham mu’tazilah, kharijiah, dsb. Bahkan sampai tahun 1933 disebutkan bahwa sekolah Muhammadiyah sebagai sekolah kebelanda-belandaan atau kebarat-baratan. Namun Muhammadiyah tetap bisa bertahan dan hingga saat ini mewajikan pembelajaran pengetahuan keIslaman yang disebut al-Islam dan keMuhammadiyahan, dengan mengajarkan Islam versi Majlis Tarjih. Muhammadiyah selalu terbuka dan terus berkembang, termasuk dalam hal keputusan Tarjih. Hal ini karena dalam penentuan sebuah keputusan Tarjih diambil dengan cara mencari yang paling kuat dasarnya, bahkan bisa terjadi tidak sejalan dengan praktik yang dilakukan pendirinya, K.H. Ahmad Dahlan.[16]
  1. Memberi Muatan Pengajaran Islam pada Sekolah-sekolah Umum Modern Belanda
Muhammadiyah baru memutuskan meminta kepada pemerintah agar memberi izin bagi orang Islam untuk mengajarkan agama Islam di sekolah-sekolah Goebernemen pada bulan April 1922. sebenarnya sebelum Muhammadiyah didirikan ini sudah diusahakan namun baru mendapat izin saat itu. Hingga akhirnya Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah swasta yang meniru sekolah Gubernemen dengan pelajaran agama di dalamnya.[17] Tujuan pokok organisasi dan pendirian lembaga pendidikan menjadi orientasi utama K.H. Ahmad Dahlan sehingga berusaha untuk menandingi sekolah pemerintahan Belanda dengan mengikuti contoh misi Kristen dengan menyebarkan fasilitas dan mendesakkan pengalaman iman[18].
Sekolah Dasar Belada dengan al-Qur’an didirikan dari keterkesanannya terhadap kerja para misionaris Kristen dan SD Belanda dengan Alkitabnya.[19] Sekolah Muhammadiyah mempertahankan dimensi Islam yang kuat, tetapi dilakukan dengan cara yang berbeda dengan sekolah-sekolah Islam yang lebih awal dengan gaya pesantrennya yang kental. Dengan contoh metode dan system pendidikan baru yang diberikannya.[20] K.H. Ahmad Dahlan juga ingin memodernisasi sekolah keagamaan tradisional[21]. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah Muallimin dan Muallimat, Muballighin dan Muballighat. Dengan demikian diharpakan lahirlah kader-kader Muslim sebagai bagian inti program pembaharuannya yang bisa menjadi ujung tombak gerakan Muhammadiyah dan membantu menyampaikan misi-misi dan melanjutkannya di masa depan. K.H. Ahmad Dahlan juga bekerja keras meningkatkan moral dan posisi kaum perempuan dalam kerangka Islam sebagai instrument yang efektif dan bermanfaat di dalam organisasinya karena perempuan merupakan unsur penting  berkat bantuan istri dan koleganya sehingga terbentuklah Aisyiah . di tempat-tempat tertentu, dibukalah masjid-masjid khusus bagi kaum perempuan, seseuatu yang jarang ditemukan di Negara-negara Islam lain bahkan hingga saat ini. K.H. Ahmad Dahlan juga membentuk gerakan pramuka Muhammadiyah yang diberi nama Hizbul Watan.
  1. Menerapkan Sistem Kooperatif dalam Bidang Pendidikan
Kita dapat melihat adanya kerjasama yang harmonis antara pemerintahan Belanda dengan Muhammadiyah.[22] Keduanya sama-sama memperoleh keuntungan. Pertama, dari sikap non oposisional. Kedua, mendukung program pembaharuan keagamaan  termasuk di dalam bidang pendidikan. Sikapnya yang akomodatif dan kooperatif memberikan ketentuan mutlak untuk bertahan hidup di tengah iklim yang sangat tidak ramah terhadap gerakan nasionalis pribumi dan disaat tidak satupun gerakan yang sebanding dengannya dapat bertahan saat itu. Sehingga K.H. Ahmad Dahlan dapat masuk lebih dalam pada lingkungan pendidikan kaum misionaris yang diciptakan oleh pemerintah Belanda, yang saat itu lebih maju kedepan dari pada sistem penddikan pribumi yang tradisional.[23] Dari uraian tersebut di atas, ada beberapa catatan yang direntaskan oleh buya[24], antara lain:
  1. Membawa pembaruan dalam bentuk kelembagaan pendidikan, yang semula seistem pesantren menjadi system sekolah.
  2. Memasukkan pelajaran umum kepada sekolah-sekolah keagamaan atau madrasah.
  3. Mengadakan perubahan dalam metode pengajaran, dari yang semula menggunakan metode weton dan sorogan menjadi lebih bervariasi.
  4. Mengajarkan sikap hidup terbuka dan toleran dalam pendidikan.
  5. Dengan Muhammadiyahnya buya berhasil mengembangkan lembaga pendidikan yang beragam dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi dan dari yang berbentuk sekolah agama hingga yang berbentuk sekolah umum.
  6. Berhasil memperkenalkan manajemen pendidikan modern ke dalam system pendidikan yang dirancangkannya.
  7. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah
Muhammadiyah merupakan gerakan umat Islam yang lahir di Yogyakarta 18 Nopember 1912. Yang perkembangannya, terutama sejak paruh kedua tahun 1920-an menunjukkan grafik meningkat. Disaat gerakan umat Islam seangkatannya justru dilanda perpecahan dan perlahan menunjukkan grafik penurunan, yaitu Sarekat Islam (SI). Yang saat itu SI pecah karena infiltrasi komunis, sehingga muncul SI “Merah” yang jadi onderbow PKI (1920). Dengan melihat perkembangan Muhammadiyah ini ada sebagian yang menyebutkan sejarah Indonesia 1925-1945 adalah sejarah Muhammadiyah. Mungkin ini tidak berlebihan. Pernyataan ini menyiratkan betapa besar peranan gerakan Muhammadiyah atau kader-kader Muhammadiyah dalam dinamika sejarah umat dan bangsa ini. Sejarah mencatat, KH Mansur penggerak MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) dan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) zaman Jepang adalah pimpinan pusat Muhammadiyah. Ki Bagus Hadikusumo, adalah pimpinan pusat Muhammadiyah yang turut merumuskan Piagam Jakarta dan berperan dalam sidang-sidang persiapan kemerdekaan. Mr.Kasman Singodimejo pun politisi yang berasal dari Muhammadiyah. Bung Karno, Ir.Juanda, Sudirman, dll tokoh bangsa ini tidak sedikit merupakan kader lulusan pendidikan Muhammadiyah. Dalam aspek sosial gerakan Muhammadiyah pun banyak memberikan kontribusi pengembangan umat dan bangsa. Misalnya Muhammadiyah memelopori pendirian Panti Asuhan dan Rumah Sakit. Bahkan Lembaga Haji (Badan Penolong Haji) pun dirintis murid KH Ahmad Dahlan, Haji Sujak yang mengusahakan usaha perkapalan untuk jemaah haji pada tahun 1921. Bidang pendidikan itu lebih jelas lagi. Karena strategi gerakan Muhammadiyah diawali dengan perintisan dan pengembangan kader lewat jalur pendidikan formal dan non formal. Dilihat aspek pengembangan pemikiran keagamaan, Muhammadiyah pun berada di garda depan. Di zaman Belanda Muhammadiyah berhasil upaya de-mistifikasi (penghancuran berpikir mistik) dengan gerakan rasionalisasinya, tetap tetap berpijak pada konsep Al-Qur’an dan As-Sunnah. Muhammadiyah pun mendobrak ketaklidan yang membabi buta, berpikir feodal seperti pengkultusan individu yang bisa mematikan ijtihad dan keterbukaan pikir. Muhammadiyah turut pula mendobrak kefeodalan dengan mengubah kebiasaan kurang baik, dalam proses pembelajaran al-Qur’an. Misalnya turut memelopori usaha penerjemahan Al-Qur’an, yang di zaman Belanda itu diharamkan. Muhammadiyah pun yang memelopori ibadah hari raya di lapangan pada tahun 1930-an, yang menggemparkan. Bahkan Belanda khawatir akan bergeser pada aksi massa. Dengan pola pikir yang rasional tetapi tetap mengedepankan jiwa kemanusiaan (kecerdasan emosional), Muhammadiyah berhasil membawa umat sedikit demi sedikit untuk mempergunakan nalar rasional dengan inspirasi ajaran Qur’an dan Sunah. Dari pola pemikiran rasional tsb gerakan Muhammadiyah telah “membangunkan” kesadaran umat Islam yang sebelumnya lebih terkesan tertinggal dan menjauhi kemajuan modern dalam pengembangan sains dan teknologi. Sehingga perlahan Muhammadiyah bisa membawa umat dan bangsa untuk mensejajarkan umat dan bangsa ini dengan umat dan bangsa lainnya. Bahkan peranan Muhammadiyah sampai kini tetap menjadi harapan umat dan bangsa, selain ormas Islam lainnya seperti NU, Persis, SI dan lain-lain. Terlebih dalam menyikapi isu-isu nasionaol dan internasional selalu tampil di depan sebagai pelopornya. Baik secara kelembagaan ataupun yang diperankan individu kader-kadernya. Pengamat politik asing seperti Samuel P Huntington dalam bukunya Benturan Peradaban menyebutkan Muhammadiyah sebagai “motor kebangkitan Islam” di Indonesia. Analisis Huntington tersebut wajar. Sebab dalam rentang usianya mendekati satu abad, Muhammadiyah telah, sedang dan akan terus mengahasilkan kader-kader intelektual bagi umat dan bangsa. Bahkan perkembangan berikutnya tampak Muhammadiyah sedang melebarkan sayapnya menjadi gerakan internasional dengan sudah membuka cabang-cabangnya di luar negeri. Seperti di Berlin, Cairo, Teheran, Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok, Australia, Amerika dst. Dari latar belakang tersebut di atas, bila meminjam teori Hero (Tokoh) nya Thomas Carlyle bahwa pemimpin besar (The Great Man) sebagai penggerak idea akan terjadi perubahan sejarah. Bahwa idea dapat membangkitkan gerak sejarah suatu bangsa, jika ada penggeraknya yaitu pemimpin besar. Seperti halnya ajaran Islam, tidak akan berkembang tanpa kehadiran dan peranan pemimpin besarnya, nabi Muhammad saw. Dengan memakai pendekatan teori sejarah ini, maka gerakan Muhammadiyah tidak akan berkembang dan berpengaruh besar sampai kini jika tanpa kehadiran ideolog dan penggerak awalnya KH Ahmad Dahlan. Karena itu mencermati dan melakukan studi atas pemikiran KH Ahmad Dahlan menjadi penting dilakukan. Ini akan berguna untuk memahami dinamika perkembangan Muhammadiyah khususnya, dan dinamika umat Islam dan bangsa Indonesia. Muhammadiyah selalu terbuka dan terus berkembang termasuk dalam hal keputusan tarjih.
  1. Ahmad Dahlan sebagai Pembaharu
Ada banyak hal yang menjadikan K.H. Ahmad Dahlan sebagai pembaharu, di antaranya yaitu:
  1. Melakukan purifikasi ajaran Islam dari khurafat tahayul dan bid’ah yang selama ini telah bercampur dalam akidah dan ibadah umat Islam, dan mengajak umat Islam untuk keluar dari jarring pemikiran teradisional melalui reinterpretasi terhadap doktrin Islam dalam rumusan dan penjelasan yang dapat diterima oleh rasio.[25]
  2. Usaha dan jasanya mengubah dan membetulkan arah kiblat yang tidak tepat menurut mestinya. Umumnya masjid-masjid dan langgar-langgar di Yogyakarta menghadap Timur dan orang-orang shalat mengahadap kea rah Barat lurus. Padahall kiblat yang seenarnya menuju Ka’bah dari tanah Jawa haruslah iring kearah Utara + 24 derajat dari sebelah Barat. Berdasarkan ilmu pengetahuan tentang ilmu falak itu, ornag tidak boleh menghadap kiblat menuju Barat lurus, melainkan harus miring ke Utara + 24 derajat. Oleh sebab itu, K.H. Ahmad Dahlan mengubah bangunan pesantrennya sendiri supaya menuju kea rah kiblat yang betul. Perubahan yang diadakan oleh K.H. Ahmad Dahlan itu mendapat tantangan keras dari pembesar-pembesar masjid dan kekuasaan kerajaan
  3. Berdasarkan perhitungan astronominya, K.H. Ahmad Dahlan menyataka bahawa hari raya Idul Fitri yang bersamaan dengan hari ulang tahun Sultan,, harus dirayakan sehari lebih awal dari yang diputuskan para ulama “mapan”. Dan melaksanakan shalat Idul Fitri di lapangan. Sultan menerima pendapat K.H. Ahmad Dahlan namun karena ini pula beliau kehilangan lebih banyak lagi simpati dari kalangan ulama “mapan”.[26]
  4. Mengajarkan dan menyiarkan agama Islam dengan popular, bukan saja di pesantren, melainkan ia pergi ke tempat-tempat lain dan mendatangi berbagai golongan. Bahkan dapat dikatakan bahwa K.H. Ahmad Dahlan adalah bapak Muballig Islam di Jawa Tengah, sebagaimana syekh M. Jamil Jambek sebagai bapak Muballigh di Sumatra Tengah.[27]
  5. Mendirikan perkumpulan Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia sampai sekarang.
  6. Sebuah Refleksi Dan Kritik Realita Sekolah-Sekolah Muhammadiyah Saat Ini
Puluhan truk pasir sejumlah sak semen dan beberapa kaleng cat tidak begitu bermakna apabila hanya di pajang di toko atau disimpan di gudang. Makna itu menjadi bermakna di tangan tukan batu atau arsitek, karena beragam bentuk arsitektur dapat dibangun. Ilustrasi tersebut menjadi bermakna dalam konteks pendidikan. Melimpahnya materi tentang aqidah, akhlaq, A-Qur’an Hadits atau hafalan sekian juz plus materiilmu umum yang menjadi tidak bermakna manakala dijejalkan begitu saja ke peserta didik dalam keadaan saling terpisah dan bersifat parsial. Apabila Muhammadiyah benar-benar mau membangun sekolah atau universitas unggulan maka harus merumuskan landasan filosofis pendidikan yang tepat sehingga dihadapan pendidikan nasional pun posisinya tegas. Jika kita melihat sekolah Muhammadiyah saat ini dari sisi kurikulumnya sama persis dengan sekolah/universitas negeri ditambah materi al-Islam dan ke-Muhammadiyahan. Kalau melihat materi yang begitu banyak, maka penambahan itu malah semakin membebani anak karenanya amat jarang lembaga pendidikan melahirkan bibit-bibit unggul. Karena itu sudah waktunya untuk kembali merumuskan materi yang terintegrasikan dengan materi-materi umum seperti yang dicita-citakan oleh pendidinya buya Ahmad Dahlan serta disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Buya melihat bahwa mengadopsi system pendidikan model Barat adalah salah satu jalan pintas karena buya melihat bahwa pendidikan merupakan kunci untuk melakukan berbagai perintah agama. Mengingat system pendidikan koloni dianggap yang terbaik maka jalan yang paling mudah adalah dengan mengadopsi sisterm tersebut lalu disempurnakan dengan penambahan mata pelajaran agama. Namun, generasi kita sekarang lebih disibukkan untuk mendirikan lembaga pendidikan hasil ijtihad, bukan menangkap substansinya yaitu bagaimana mengintegrasikan atau mensintesakan ilmu umum dan ilmu agama, karenanya cita-cita buya untuk melahirkan ulama-intelek dan intelek ulama belum terpenuhi. Lain halnya jika kita membaca cerpen dari Navis (2000) yang berjudul “Robohnya Surau Kami”, yang berisi kritikan terhadap kaum agamawan (para penganut agama, terutama Islam) yang terlalu bersemangat untuk meraih surga di akhirat tapi melupakan meraih “surga” di muka bumi ini melalui kerja kemanusiaansampai akhirnya surai itu roboh. Dengan meminjam istilah itu secara konotatif kemungkinan kritik itu diarahkan kepada warga Muhammadiyah yang berlomba-lomba mendirikan sekolahan hanya bermodal ihlas tanpa memperhatikan mutu/kualitas dan standar kelayakan pendidikan sehingga begitu ada arus perubahan satu persatu sekolah Muhammadiyah rontok, kehabisan murid seperti yang terjadi belakangan ini. Sedangkan secara denotative, memang untuk menunjukkan bahwa bangunan gedung-gedung Muhammadiyah rata-rata sudah menua sehingga benar-benar mau roboh. Begitulah realita yang terjadi dan untuk menutup tulisan ini ada baiknya kita membaca kembali apa yang dituliskan Andrea Hirata dalam novel best seller-nya yang sangat menyengat dunia pendidikan kita yang berjudul Laskar Pelangi.. Realita pendidikan Muhammadiyah di pelosok kota Belitung, yang harus berjuang keras melawan ganasnya lingkungan dan kehidupan. Tapi dengan motivasi dan semangat yang tinggi dari diri sendiri, teman serta pengelola pendidikan tersebut, mereka berhasil mengatakan pada dunia “ini lah aku…anak-anak dari pelosok Belitung…”. Guru yang super hebat dengan semua pengorbanannya memperjuangkan eksistensi mereka pada dinas Pendidikan setemat, dan loyalitas mereka untuk menerapkan cita-cita pembaruan buya Ahmad Dahlan dalam sekolah mereka. Harusnya kita malu dengan segala kemewahan fasilitas dan sarana yang kita miliki kalau kita masih keliru memahami maksud dari cita-cita pendidikan buya Dahlan. Sederhananya, tidak banyak cingcong dan kemampuan merealisasikan ide menjadi tindakan nyata, jauh lebih tinggi daripada intelektual muda manapun. Ini barangkali dapat dipertimbangkan sebagai mata pelajaran baru di sekolah-sekolah kita. University of Life adalah ungkapan yang paling pas untuk situasi ini. Sekolah seharusnya tidak lagi mengajarkan hal-hal apa yang harus kita pikirkan,tapi mengajarkan kita cara berfikir. Ada baiknya kita memotivasi diri kita sebagai pondasi awal kita untuk menyajikan dunia pendidikan yang terbaik sesuai dengan cita-cita buya, dengan meresapi apa yang dikatakan Arai kecil: “bahwa orang seperti kita akan mati tanpa mimpi dan semangat, karena itu jangan pernah berhenti bercita-cita, karena pabila itu terjadi maka tragedy terbesar dalam hidup kita akan dimulai. Itulah kiranya yang dingin direalisasikan oleh buya Ahmad Dahlan.
B.Pembaharuan Pemikiran Budaya
Ketika Grebeg Hari Raya dalam tradisi Kraton Yogyakarta jatuh sehari sesudah hari raya Islam, Kiai meminta menghadap Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Tengah malam, diantar Kanjeng Kiai Penghulu, Dahlan diterima Sang Raja dalam sebuah ruang tanpa lampu. Setelah Dahlan menyampaikan usul agar Grebeg diundur sehari, Raja bersabda bahwa Grebeg dilaksanakan sesuai dengan tradisi Jawa, Dahlan dipersilakan menyelenggarakan shalat Hari Raya sehari lebih dahulu.
Kiai begitu terkejut mendapati ruang paseban penuh dengan pangeran dan pejabat kerajaan mendampingi Raja saat lampu ruang paseban dinyalakan. Sang Raja kembali bersabda bahwa pemadaman lampu itu sengaja dilakukan agar Dahlan tidak merasa kikuk saat menyampaikan usulnya kepada Raja.
Hubungan harmonis Dahlan dan pusat kekuasaan Jawa cukup unik dan menarik dikaji ketika kerajaan dipandang sebagai pusat tradisi Kejawen yang penuh mistik. Kelahiran Muhammadiyah sendiri berkait dengan kebijakan Hamengku Buwono VII dan VIII. Kepergian Dahlan naik haji dan bermukim di Mekkah adalah perintah langsung Sri Sultan Hamengko Buwono VII. Raja memandang penting Raden Ngabei Ngabdul Darwis (nama kecil Ahmad Dahlan) belajar Islam dari asal kelahirannya. Sepulang haji, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memerintahkan Dahlan bergabung dalam Boedi Oetomo. Reformasi Islam pun mulai berlangsung dari sini.
Konflik keras justru muncul dalam komunitas Kauman dari ulama senior dan Kiai Dahlan. Disharmoni Muhammadiyah dan pusat kekuasaan Jawa mulai muncul ketika gerakan ini memperkuat ortodoksi Fikih sesudah pendirinya wafat tahun 1923. Gerakan pembaruan Islam kemudian berkembang berhadap-hadapan dengan pusat kekuasaan Jawa.
Suasana sosial politik yang melingkupi kehidupan Dahlan di atas berbeda dengan pembaru Islam Saudi Arabia, Mesir, Iran, Afganistan, Aljazair, Pakistan, atau India. Jika para pembaru itu banyak berhubungan dengan pusat kebudayaan Eropa (Perancis dan Inggris), Kiai memperoleh pendidikan di lingkungan kerajaan. Interaksinya dengan elite kerajaan, pejabat kolonial, priayi Jawa, pendeta, dan pastor memberi ruang lebih luas menjelajahi berbagai persoalan dunia global atau nasional dan lokal.

C.Pembaharuan Pemikiran Ekonomi
Tulisan pembaharuan pemikiran ekonomi Ahmad Dahlan, penulis kurang mendapat reverensi buku yang cukup untuk mengupasnya. Untuk itu penulis mengambil inisiatif mengambil dan menyampaikan kembali artikel Sutia Budi yang berjudul “Gerakan Ekonomi Muhammadiyah; Sebuah Gugatan” 3 September 2007, dengan sentuhan pikiran penulis.
Jiwa ekonomi terlihat dari profil kehidupan KH. Ahmad Dahlan yang bekerja sebagai pedagang batik (bussinessman) di samping kegiatan sehari-harinya sebagai guru mengaji dan khatib. KH. Ahmad Dahlan sering melakukan perjalan-an ke berbagai kota untuk berdagang. Dalam perjalanan bisnisnya, KH. Ahmad Dahlan selalu membawa misi dakwah Islamiyah.
Kepada para aktivis organisasi dan para pendukung gerakannya, KH. Ahmad Dahlan berwanti-wanti: “Hidup-hidupilah Muhammad-iyah, dan jangan hidup dari Muhammadiyah”. Himbauan ini menimbul-kan konsekuensi tertentu. Menurut Dawam Raharjo mengatakan, konsekuensi yang lain adalah bahwa untuk memperjuangkan kepentingan ekonominya, mereka harus memajukan usahanya agar bisa membayar zakat, shadaqah, infaq atau memberi wakaf, warga Muhammadiyah harus menengok ke organisasi lain. Pada waktu itu, yang bergerak di bidang sosial-ekonomi adalah Sarekat Dagang Islam (SDI), kemudian bernama Sarekat Islam (SI) itu. Itulah sebabnya warga Muhammadiyah sering berganda keanggotaan, Muhammadiyah dan Sarekat Islam.
Pada tahun 1921, Muhammadiyah memprogramkan perbaikan ekonomi rakyat, salah satunya adalah dengan membentuk komisi penyaluran tenaga kerja pada tahun 1930. Pada perkembangan selanjutnya, tahun 1959 mulai dibentuk jama’ah Muhammadiyah di setiap cabang dan terbentuknya dana dakwah. Program-program ekonomi yang dirancang ternyata menjadi dorongan untuk terbentuknya Majelis Ekonomi Muhammadiyah.
Namun, sebagaimana diungkap Mu’arif (2005:223), dalam persoalan ekonomi ini, Persyarikatan Muhammadiyah mengalami posisi dilematis. Di satu sisi, visi ekonomi ketika hendak membangun perekonomian yang tangguh haruslah didasarkan pada profesionalisme. Adapun untuk mengantarkannya pada profesionalisme itu biasanya menggunakan cara yang mengarah pada dunia bisnis kapitalis. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan visi kerakyatan yang pada awal berdirinya persyari-katan menjadi agenda utama.

D.Pembaharuan Bidang Sosial
Praktek amal nyata yang fenomenal ketika menerapkan apa yang tersebut dalam surah Al Maun yang secara tegas memberi peringatan kepada kaum muslimin agar mereka menyayangi anak-anak yatim dan membantu fakir miskin. Aplikasi surah al Ma’un ini adalah terealisirnya rumah-rumah yatim dan menampung orang-orang miskin.
Ketika menerapkan Al Qur’an surah 26 ayat 80, yang menyatakan bahwa Allah menyembuhkan sakit seseorang, maka didirikannya balai kesehatan masyarakat atau rumah sakit-rumah sakit. Lembaga ini didirikan, selain untuk memberi perawatan pada masyarakat umum, bahkan yang miskin digratiskan, juga memberi penyuluhan, betapa pentingnya arti sehat.[

V. Relefansi Pemikiran Ahmad Dahlan pada Konteks Kekinian
Kontinuitas dan perubahan merupakan dua ciri yang menonjol dari perkembangan Islam di Indonesia pada awal abad ke-20. Kontinuitas mewujudkan diri dalam kecenderungan kaum muslim untuk :
(1) melestarikan pelbagai kepercayaan dan praktik (keagamaan), yang sebagian besar tidak bisa diterima di daerah-daerah tertentu; dan
(2) membatasi Islam hanya dalam bentuk ritual dan tidak menginspirasikan perubahan dalam kehidupan sosial, kultural dan material.
Muhammadiyah yang selalu di "elu-elukan" oleh warga persyarikatan maupun banyak orang diluar persyarikatan sebagai ormas terkaya dalam bidang amal usaha, gerakan Islam modernis, dan ormas terbesar nomor dua di Indonesia setelah Nahdlatul Ulama, ternyata memiliki krisis legitimasi dari para pengikutnnya. Hal ini ditunjukkan dengan polarisasi keyakinan dan bahkan pembangkangan terhadap manhaj Muhammadiyah ditingkat basis, seperti cabang dan ranting. Hal serupa juga tidak menutup kemungkinan dengan munculnya kecenderungan yang sama dan para pimpinan diberbagai tempat yang saat sekarang duduk sebagai pejabat teras di Pimpinan Daerah sampai Pusat.
Layaknya bakteri atau virus yang begitu cepat menyebar dan tidak pandang bulu untuk menyerang paradigma pengurus Muhammadiyah saja, melainkan para aktivis mudanya pun telah tertular kegenitan virus politik praktis.
Disinilah, bentuk-bentuk penjarahan anggota dan kader muda Muhamnaadiyah secara besar-besaran terjadi. Mereka yang di "gadang gadang" sebagai resources dan pelopor baru Muhammadiyah ternyata juga mengalami pembangkangan terhadap organisasi induknya.
Menurut hemat penulis, porak porandanya sistem maupun kondisi internal ini dikarenakan belum maksimalnya para pimpinan Muhammadiyah untuk menjawab kebutuhan - moral maupun spiritual - kadernya. Segala bentuk gagasan bertema purifikasi dan pembaharuan yang melangit dalam segala bidang selalu dikedepankan. Hal ini menjadikan para pimpinan terjebak dan bahkan tercerabut dari akar permasalahan. Peran mubaligh Muhammadiyah dengan sendirinya telah tergeser dengan munculnya para intelektual (meminjam istilah Kuntowijoyo) muslim tanpa masjid.
Para cendekiawan muslim Muhammadiyah ini terlahir dari rahim forum-forum ilmiah keagamaan, buku-buku ke-Islaman dan berbagai media yang menunjang dalam memenuhi kebutuhan masyarakat kontemporer. Tak pelak jika terkadang para cendekiawan produk Muhammadiyah ini gagap dalam menjawab masalah-masalah fundamental persyarikatan khususnya dan masyarakat umumnya.
Masih mungkinkah Persyarikatan Muhammadiyah membangkitkan kembali kesadaran solidaritas umat Islam dengan metode K.H. Ahmad Dahlan. Dengan menggunakan Al Qur’an Surat Al Maun terhadap rasa kepeduliannya dan solidaritasnya terhadap sesama. Mungkinkah di tengah masyarakat objek dakwah Persyarikatan Muhammadiyah, masyarakatnya sedang diterpa budaya hedonisme dan sekulerisme, kembali ke ajaran Islam?
Masih mampukah Persyarikatan Muhammadiyah membangkitkan kembali kesadaran berpartisipasi aktif menciptakan masyarakat bermartabat, dengan memedulikan duka nestapa yang diderita oleh anak yatim piatu dan fakir miskin korban kebijakan struktural? Kita tahu, Persyarikatan Muhammadiyah sekarang sudah membangun sarana pendidikan dari play group hingga perguruan tinggi serta pesantren modern. Akan tetapi, masih adakah guru dan dosen serta "dokter pejuang" seperti zaman K.H. Ahmad Dahlan. Kebijakan pendidikan Persyarikatan Muhammadiyah terlihat cenderung berorientasi memenuhi kebutuhan pendidikan untuk sesama, need of union, dengan sistem pendidikan pada umumnya.
sungguh, K.H. Ahmad Dahlan sedang menangis. Di tengah kegalauan kehidupan kota, pelayanan masyarakat bawah dari Persyarikatan Muhammadiyah tidak dikenal oleh masyarakat. Hal itu tergantikan pelayanannya oleh Dompet Dhuafa (DD), Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhiid (DPU DT), Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), Rumah Zakat Indonesia Dompet Sosial Ummul Quro (RZI DSUQ) dan sejenisnya. Realitas yang demikian ini, agaknya menjadikan K.H. Ahmad Dahlan menangis. Karena, Persyarikatan Muhammadiyah telah kehilangan aktivis dakwahnya yang dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat kota dan desa.

VI. Tinjauan Kritis Pemikiran Ahmad Dahlan
Abdul Munir Mulkhan dalam beberapa kajiannya tentang geneologi intelektualitas Ahmad Dahlan mencatat adanya korelasi ideologis dalam beberapa pemikiran pendiri gerakan Muhammadiyah ini dengan pemikiran Ibn Taimiyah. Pokok-pokok pandangan Ibn Taimiyah yang dinilai mempunyai pengaruh besar terhadap dinamika gerakan pembaharuan di dunia Islam, dan Ahmad Dahlan pada khususnya ialah:
  1. Satu–satunya kunci untuk memahami Islam adalah al Quran dan Sunnah Rasul.
  2. Ijtihad sebagai upaya memahami Islam dari sumber primer (al Quran dan sunnah) merupakan proses tidak pernah selesai.
  3. Ummat Islam tidak harus dipimpin oleh hanya seorang khalifah.
  4. Usaha yang dilakukan oleh manusia dengan mempergunakan kemampuan akal dan kecerdasan berpikirnya semata–mata untuk menemukan dan mencapai kebenaran mutlak, adalah suatu usaha yang mustahil.
Untuk memperoleh pemahaman yang tepat terhadap al Quran dan sunnah, perlu mempergunakan pendekatan dan contoh yang dilakukan oleh golongan salaf yang merupakan generasi pertama         ummat Islam.
Gerakan reformasi Islam dalam dunia Arab modern dimulai dan disemai oleh para pemikir-pemikir Muslim rasionalis semenjak Rifa'at Tahtawi dan al-Tunisi. Puncaknya dalam gerakan pembaharuan Muhammad 'Abduh. Dan `Abduh adalah cikal-bakal gerakan reformis yang ada sekarang ini. Hanya, kecenderungan dikotomis untuk menjadi "kiri" atau "kanan" dalam madzhab 'Abduh semakin intens. Kelompok kiri penerus 'Abduh semakin lama semakin kiri (menjadi sekular), dan kelompok kanan juga terus semakin kanan, atau memutuskan diri sama sekali dari kerangka ajaran sang imam, yaitu menjadi fundamentalis.
Wawasan keberagamaan Dahlan mengedepankan sikap inklusivitas, pluralitas dan relativitas dalam memandang sebuah pemahaman kebenaran. Kepribadian Dahlan ini sangat mewarnai corak penampilan Muhammadiyah pada fase–fase awal. Beliau menafsirkan Islam sebagai realitas yang dinamis dan hidup. Tafsir sosial Islam yang dilakukan Dahlan menyuarakan kepentingan pemihakan kepada konstruksi-konstruksi sosial yang marjinal, terjajah, dan tertindas oleh sebuah sistem otoritas/struktur sosial yang opresif.
Menurut Munir Mulkhan, kesatuan kemanusiaan di atas merupakan dasar berbagai gagasan KH. Dahlan tentang sikap kritis terhadap kebenaran yang selama ini diyakini pemeluk agama dan pemimpin agama. Begitu pula pemikiran tentang pentingnya sikap terbuka dan kesediaan untuk belajar kepada orang lain, walaupun kepada orang yang berbeda agama. Tampak jelas bahwa bagi KH. Ahmad Dahlan, Islam merupakan ajaran untuk pencapaian kesejahteraan dan perdamaian seluruh umat manusia.

VII. KESIMPULAN
  1. Gerakan Muhammadiyah dikenal luas sebagai gerakan yang sangat dipengaruhi oleh gagasan modern dan reformis pembaru Mesir Muhammad Aabduh (1849-1905), yaitu dimaksudkan untuk memurnikan Islam di Indonesia dari praktik-praktik khurafat tradisional yang tidak Islami. Dalam rangka memajukan program pembaruannya, Muhammadiyah menyerukan agar kaum Muslim kembali kepada Islam yang murni dan menafsirkan untur-unsur kebudayaan Barat dalam kerangka ajaran Islam.
  2. Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan  melakukan dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Kedua tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena umum; yang pertama sudah diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak dilakukan oleh yayasan pendidikan Islam lain. Namun, ide Beliau tentang model pendidikan integralistik yang mampu melahirkan muslim ulama-intelek masih terus dalam proses pencarian. Sistem pendidikan integralistik inilah sebenarnya warisan yang musti kita eksplorasi terus sesuai dengan konteks ruang dan waktu, masalah teknik pendidikan bisa berubah sesau dengan perkembangan ilmu pendidikan atau psikologi perkembangan.
  3. Setelah melihat sepak terjang K.H. Ahmad Dahlan dalam gagasan dan praktek pendidikan Islam melalui Muhammadiyahnya, kita tahu besar sekali jasa beliau dalam meletakkan pelajaran agama sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah pemerintah sampai saat ini dari pendidikan kanak-kanak sampai perguruan tinggi.
  4. Gagasan K.H. Ahmad Dahlan selanjutnya dijadikan inspirasi bagi penetapan bidang studi umum dan agama Islam yang wajib diberikan di sekolah dasar dan diikuti oleh murid-murid yang beragama Islam.
  5. Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan berangkat dari keinginan untuk mewujudkan manusia yang mewakili kepribadian yang integral dan pengetahuan yang seimbang. Sehingga dipandang pentingnya memberikan pengetahuan agama bagi mereka yang berada di sekolha-sekolah umum dan pengetahuan umum bagi mereka yang selama ini belum pernah mendapatkannya.
  6. Tampak jelas dalam kurikulumnya bahwa kurikululum yang ditetapkan DikNas, pendidikan Muhammadiyah juga mengkompromikan pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Pada sekolah negeri pelajaran agama merupakan satu bidang studi. Sedang di pendidikan Muhammadiyah dibagi menjadi empat, yaitu akidah, al-Qur’an, tarikh dan akhlaq
  7. K.H. Ahmad Dahlan dapat dikatakan sebagai peletak dasar pemikiran Muhammadiyah yang tidak bersikap apriori terhadap Barat. Ia melihat kemajuan yag dibawa Barat dan ia bekeyakinan bahwa salah satu jalan untuk mengankat umat Islam adalah dengan mendidik mereka dalam lembaga pendidika yang mempunyai system yang tersendiri sebagai hasil pemikirinannya. Lembaga-lembaga pendidikan inilah yang kemudian menjadi sarana pelestarian hasil-hasil keputusan tarjih.

VI.             PENUTUP
Demikian pemaparan makalah dari saya semoga bermanfaat. Semoga kita dapat melakukan dan memberikan yang terbaik bagi dunia pendidikan kita dengan menghadapi semua kesulitan sebagai bagian dari suatu tatanan pendidikan kita yang sempurna. Billahi fi sabilil haq fastabiqul khairat.






DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007).
Abdul Munir Mulkhan, Prof.Dr.SU, Kisah dan Pesan Kiai Ahmad Dahlan (Yogyakarta: Pustaka, 2005)
Abuddin Nata, FIlsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru) (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005)
Ahmad Mansur Suryanegara, Prof.Ph.D, Filsafat Sejarah (Makalah Mata Kuliah), (Jurusan SPI Fak.Adab IAIN SGD, Bandung, 2003)
Ali Asyraf, Horison Baru Pendidikan Islam, terjemahan, Sori Siregar (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993).
Alfian, Muhammadiyah The Political Behavior of Allah SWT Muslim Modernist Organization Undr Dutch Colonialism (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1085)
Alwi Shihab, Membendung Arus Resopn Gerakan Muhammdiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998)
Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam (Jember, Mutiara Offset, 1985)
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993)Clifford Geertz, The Religion of Java (New York: The free Press of Glencoe, Inc., 1961)
Berita Resmi Muhammadiyah (BRM) No.23/April 1995 Delia Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942I (Jakarta: LP3ES, 1995) Disertasi tidak diterbitkan, Ahmad Tafsir, Konsep Pendidikan Formal dalam Muhammadiyah (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1987)
Achmad Jainuri, The Muhammadiyah Movement in Twentieth Century Indonesia Allah SWT social Religius Study (Canada: Tesis Mc. Gill University Montrealm 1992)
Dja’far Siddik, Konsep Pendidikan Islam Muhammadiyah Sistematisasi dan Interpretasi Berdasarkan Perspektif Ilmu Pendidikan (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1997)
Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2001) Hamka, Kenang-kenangan Hidup I (Jakarta: Gapura, 1951) http://immgunungjati.wordpress.com/2007/11/13/rekonstruksi-pemikiran-kh-ahmad-dahlan/ Download pada tanggal 9 April 2008-04-18 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, (Jakarta: LP3ES, 1994)
KRH. Hadjid, Pelajaran K.H. Ahmad Dahlan 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat al-Qur’an (Yogyakarta: LPI PPm, 2005).
M. Margono Poesposuwarno, Gerakan Islam Muhammadiyah (Yogyakarta: Persatuan Offet, 1995)
M. Yusron Asrofie, K.H. Ahmad Dahlan Pemikiran dan Kepemimpinannya (Yogyakarta: Yogyakarta Offset, 1983)
Mark R. Woodward, Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta (Tucson: The University of Arizona Press, 1989)
Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya (Jakarta: Lentera, 1999)
MT. Arifin, Muhammadiyah: Potret yan Berubah (Surakarta: Institut Gelanggang Mukti A. Ali, The Muhammadiyah Movement: Allah SWT Bibliographical Introcution”, Tesis Master pada Institute of Islamic Studies (Mc Gill Univercity, Montreal, 1957)
Pedoman Guru Muhammadiyah, seri M.P.P. No. % (Jakarta: PP Muhammadiyah Majlis P.P.K, 1997 Pemikiran Filsafat Sosial BUdaya dan Kependidikan, 1990)Profil Anggota Muhammadiyah, LP UMY, Yogyakarta, 2000 Robert van Neil, From Netherlands East Indies to Republic of Indonesia 1900-1945, dalam Harry Aveling (ed), The Development of Indonsesian Society (New York: St. artin Press, 1980)
Sri Setyatiningsih dan Sutrisno Katoyo, Sejarah Pendidikan DIY (Yogyakarta: Depdikbud, 1982)
Syaifullah, Gerakan Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi, (Grafiti Pers, Jakarta, 1997)
Solichin Salam, Muhammadijah dan Kebangunan Islam di Indonesia, (NV Mega, Jakarta, 1965)
Tim MPK PP Muhammadiyah, Sistem Perkaderan Muhammadiyah (Yogyakarta: MPK PP Muhammadiyah, 2008)
Sukrianta & Abdul Munir Mulkhan, Perkembangan Pemikiran Muhammadiyah Dari Masa Ke Masa, Dua Dimensi, Yogyakarta, 1985 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis (Jakarta: Ciputat Pers, 2002).
Suara Muhammadiyah, Edisi Sabtu, 9 Februari 2008 Syamsi Sumardjo, Pengetahuan Muhammadiyah dengan Tokoh-tokohnya dalam Kebangunan Islam (Yogyakarta: P.B. Muhammadyah, 1976)
Syed Sajjad dan Syed Ali Ashraf, Crist in Muslim Education (Jeddah: Hodder and Stonghton 1979)
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006 Weinata Sairin, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah (Jakarta: Pustaka SInar Harapan, 1995)
Winarno SUrakhmad, dkk, Reformasi Pendidikan Muhammadiyah Suatu Keniscayaan (Yogyakarta: Pustaka Suara Muhammadiyah, 2003)
Yunus Salam, K.H. Ahmad Dahlan Reformer Islam Indonesia (Jakarta: Djajamurni, 1963). —————–, K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Perjuangan (Jakarta: Depot Pengajaran Muhammadiyah, 1968)











[1]. Jajang Jahroni, Modernisme dan Radikalisme Islam di Indonesia: Menafsirkan Warisan Muhammad Abduh dan Rashīd Ridhā (Book Riview: Giora Eliraz, Islam in Indonesia, Modernism, Radicalism, and the Middle East Dimension, Great Britain: Sussex Academic Press, 2004, xi + 142 pages), Studia Islamika, Vol. 11, No. 3, 2004, Hlm. 577
[2]. Ali Mahdi Khan, Dasar-dasar Filsafat Islam, Pengantar ke Gerbang Pemikrian, diterjemahkan dari “The Elements of Islamic Philosophy, Bandung, Nuansa, 2004, hlm. 23-24.
[3]. Ensiklopedi Islam/penyusun, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Cet.4, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hlm.83.
[4] Wikipedia, Ensiklopedia Bebas, kata kunci: http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Dahlan
[5]. Herry Muhammad dkk, Tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh abad 20; Cet.1, Jakarta, Gema Insani Press, 2006, hlm.8
[6] Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran Kyai Ahmad Dahlan dan Muhamadiyah; dalam perspektif perubahan sosial, Cet.I, Jakarta, Bumi Aksara, 1990,hlm.6
[7]. Abdul Munir Mulkhan, Etika Welas Asih dan Reformasi Sosial Budaya Kiai Ahmad Dahlan, (Artikel publikasi)” Yogyakarta
[8]. Herry Muhammad dkk, Tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh abad 20; Cet.1, Jakarta, Gema Insani Press, 2006, hlm.9
[9]. Herry Muhammad dkk, Tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh abad 20; Cet.1, Jakarta, Gema Insani Press, 2006, hlm.11
[10]. Al Quran Terjemahan Elektronik, Surat Ali Imran, Ayat, 104
[11]. Herry Muhammad dkk, Tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh abad 20; Cet.1, Jakarta, Gema Insani Press, 2006, hlm.10
[12]. Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, h.95-96
[13]. Lihat, Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam (Jember, Mutiara Offset, 1985), h. 92. Lihat juga Pedoman Guru Muhammadiyah, seri M.P.P. No. % (Jakarta: PP Muhammadiyah Majlis P.P.K, 1997), h. 26. Tujuan pendidikan Muhammadiyah secara umum yang lain berbunyi: “Terwujudnya manusia musli yang berakhlak mulia, cakap, percaya pada diri sendiri berguna bagi masyarakat dan negara. Selanjutnya tujuan tersebut disempurnakan lagi, sehingga berbunyi: (i) terwujudnya manusia muslim yang berakhlak mulia cakap, percaya pada diri sendiri dan berguna bagi masyarakat dan negara, beramal menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, (ii) memajukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan untuk pembangunan masyarakat dan Negara RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tujuan ini tercantum dalam Kaidah Perguruan Dasar dan Menengah masyarakat pasal 3 Persyarikatan Muhammadiyah Badan Hukum yang menyelenggarakan Sekolah dan Terguruan Tinggi, pasca kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan.
[14]. Ibid, h. 98-108 
[15]. Bahan pelajaran tersebut di samping pelajran Qur’an dan hadis adalah kitab-kitab fiqh (mazhab Syafi’i), ilmu tasawuf (al-Ghazali), Ilmu kalam (ulama-ulama Ahl Sunnah) ditambah dengan kitab Risalah al-Tauhid (Muhammad Abduh), kitab Jalalain dan al-Manar. Sedangkan pengetahuan umumnua meliputi: ilmu sejarah, berhitung, menggambar bahasa Melayu, bahasa Belanda dan Inggris. Lihat: Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan, h. 122-123
[16]. K.H. Ahmad Dahlan pada masa hidupnya banyak menganut fiqh mahzab Syafi’i, termasuk mengamalkan qunut dalam shalat subuh dan shalat tarawih 23 rakaat. Namun, setelah berdiriya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan Kyai Haji Mas Mansyur, terjadilah revisi –revisi setelah melakukan kajian mendalam, termasuk  keluarnya  Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktikkannya do’a qunut di dalam shalat subuh dan jumlah rakaat shalat tarawih yag sebelas rakat. “ Ini wujud keterbukaan Muhammadiyah yang tidak fanatik”.Karena ini Muhammadiyah bukan Dahlaniyah. Dahulu ketika  Ahmad Dahlan muda  bermukin di Makkah, sempat belajar kepada Syaikh Ahmad Khatib yang saat itu juga  bersama Hasyim Asyari yang kemudian menjadi salah satu pendiri Nadhatul Ulama. Karena Kyai Ahmad Khatib adalah seorang ulama bermahzab Syafii, maka praktik ibadah Kyai Dahlan banyak yang mengikuti fiqh Mahzab Syafii.  Hanya saja, karena Kyai Dahlan mendapat tugas dari Syaikh Ahmad Khatib untuk mempelajari Al Mannar, karya Rasyid Ridha, maka Kyai Dahlan terpengaruh juga dengan pemikiran Rasyid Ridha yang menekankan tidak bermahdzab. “Contohnya, bila ada satu masalah yang kuat dasarnya Mahzab Syafii yang dianut Mahzab Syafii, kalau suatu masalah kuat Mahzab Hanafi, yang dianut Mahzab Hanafi”. Hal inilah yang kemudian dianut Muhammadiyah, termasuk dalam pengambilan Putusan Tarjih. Demikian dikatakan Dr. Yunahar Ilyas ditengah Pengajian Mahasiswa, kamis (7/02/2008) di Kantor PP Muhammadiyah, Jl Cik Di Tiro Yogyakarta. Lihat: Suara Muhammadiyah , Edisi 9 Februari 2008
[17]. Karel. K. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, h. 54-55
[18] K.H. Ahmad Dahlan sering mengajak murid-muridnya mengunjungi gereja dan sekolah-sekolah misi untuk menunjukkan dedikasi tinggi yang diberikan oleh para misionaris terhadap tugas-tugas baik yang bersifat keagamaan maupun social. Tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan semangat juang para muridnya.  Lihat juga Robert ban Neil, The Emergence of the Modern Indonesian Elite, h. 85
[19], Alfian Muhammadiyah, h. 150. Lihat juga Arifin, Muhammadiyah , h. 64-66
[20]. Mengenai Pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan di bidang Pendidikan, lihat Mukti Ali, The Muhamadiyah Movement, h. 53
[21]. Kata “pesantren” secara harfiah berarti tempat atau sekolah untuk santri. Kata santri pada mulanya berarti para siswa yang belajar di sekolah-sekolah Islam. meskipun demikian, dalam masarakat Jawa, kata ini memperoleh makna yang lebih luas. Kata ini dulu, dan hingga sekarang masih digunakan untuk menunjuk kelompok kaum muslaim ortodoks yang taat menjalankan perintah-perintah agama. Karena itu, pesantren bukanlah sebagaiman ayang digambarkan Geertz sebagai sekolah elompok teligius yang kesalehannya mencerminkan produk sintesis antara Islam dan agama Jawa para-Islam yang jauh dariortodoksi Islam. pada kenyatannya, pesantren dibangun sebagai dan perlahan-lahan berkembang menjadi jantung Islam ortodoks di wilayah pedesaan di seluruh Indonseia, meskipun disebut dengan nama-nama yang berbeda. Pendidikan yang diberikan disekolah-sekolah ini, setidak-tidaknya hingga berdirinya Muhammadiyah , hanya terdiri dari ilmu agama. Pengajaran diberkan dengan cara yang tidak formal, dengan cara para murid duduk mengelilingi guru mereka. Muhammadiyah berdiri untuk memodernisasikan lembaga-lembaga ini, dengan memasukkan pengajaran ilmu-ilmu sekuler da penerapan system pengajaran baru. Bahkan dapat dikatakan, salah satu sumbangan khas Muhammadiyah dalam bidang pendidikana adalah dengan mengadakan pendidikan Islam yang melampaui system pendidikan pesantren yang tradisionalis ini. Lihat, Clifford Geertz, The Religion of Java (New York: The free Press of Glencoe, Inc., 1961), h. 125. Lihat juga Mark R. Woodward, Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta (Tucson: The University of Arizona Press, 1989), h. 79-80
[22].Setelah dapat dipastikan, bahwa Muhammadiyah bersika kooperatif. Pemerintahan HindiaBelanda memberikan penghargaan atas itu semua, berupa perangko pos yang berlogokan Muhammadiyah dan K.H. Ahmad Dahlan. Ini merupakan salah satu kunci keberhasilan K.H. Ahmad Dahlan dalam merealisasikan program pembaharuan pendidikannya di Indonesia saat itu
[23]. Ini menjadi pe-er besar bagi kita bersama untuk menindaklanjuti yang dilakukan K.H. Ahmad Dahlan dengan melakukan studi komparatif antara system pendidikan Kristen dan system pendidikan Islam sehingga diharapkan akan tercipta sebuah paradigma baru bagi dunia pendidikan Islam.
[24]. Lihat, Abudina Nata, Filsafat Pendidikan Islam, h. 208 
[25]. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, h. 103-104 
[26]. A. Mukti Ali, The Muhammadiyah Movement, h. 32
[27]. Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, h. 276